Grateful or Insecure
Nama: Dinar Nur Fadilah
Kelas : XI IPA 4
Sekolah: SMAN 2 Banjar
Jenis Buku: Novel
Judul Buku: Grateful or Insecure?
Sinopsis:
Hidup pada zaman serba instan, modern, digital, membuat dunia lebih berwarna dengan teknologi yang ada. Mengutamakan gaya hidup seringkali menjadi prinsip, namun tak sedikit mereka yang mampu menguasai teknologi sehingga dapat bermanfaat bagi banyak orang.
Impian, keinginan, terkadang tak sesuai dengan harapan. Yang ada di tiadakan, yang tiada diadakan. Terkesan memaksakan kondisi diri sendiri. Keterpurukan moral membuat kata Insecure ramai dibincangkan remaja.
Dinda, gadis yang tengah duduk di bangku SMA sekaligus santri akan membawa pikiran kembali bernostalgia.
“Lihatlah dunia ke bawah, pandanglah akhirat ke atas,” ucapnya.
Buat kamu yang sering ngerasa putus asa, kurang percaya diri, tidak mau keluar dari zona nyaman, buku ini sangat cocok kamu baca. Lembaran kisahnya akan mengantarkan kamu menjadi orang yang paling beruntung di dunia ini dengan apa yang kamu miliki saat ini. Temukan jawabannya!
Outline
1. Hujan Bulan Oktober
2. Pagi di Sukanegara
3. Detik-Detik Terakhir
4. Dongeng Pengantar Tidur
5. Santri dan Pelajar. Capek Enggak, Sih?
6. Cinta Sejati
7. Rose
8. Insecure?
9. Langit Pesantren
10. Friendly
11. Mengukir Sejarah
12. Everything Grateful
13. Hijrah
14. Alfiyah
15. Rumah
Hujan Bulan Oktober
Entahlah, rintik hujan selalu membuat hati gerimis. Gerimis dengan segala Rahmat dan karunia-Nya.
Waktu telah menunjukkan pukul 11.00 WIB. Tapi sang raja singa masih menenggelamkan dirinya, ia tak kunjung menampakkan diri dan memberikan kehangatan pada penduduk bumi. Dingin kian menusuk tulang, pori-pori semakin mengerut. Keadaan memaksa gadis bermata legam ini untuk kembali menarik selimutnya. Stay at home benar-benar ia lakukan saat rintik hujan menjadi lebat. Dinda Putri, dengan rutinitasnya sebagai pelajar dan santri kini tengah ditemani buku-buku tebal. Dimasa Pandemi Covid-19 yang menyerang hampir di seluruh dunia pun berdampak pada kegiatan belajar mengajar. Lorong waktu terkadang membuat gadis ini rindu dengan keramaian khas sekolah.
Sudah hampir 2 minggu Dinda belum kunjung kembali ke pesantrennya. Mata indahnya menatap pemandangan di luar rumah. Pohon pisang bergelayut kesana kemari karena diterpa dengan angin yang cukup kencang. Tomat dan cabai yang ditanamnya 3 bulan terakhir kini tibalah saatnya panen.
Tidak banyak yang berubah di rumah, tapi rumah terus menjadi tempat yang paling dirindukan saat di pesantren. Terik matahari biasanya menyengat tubuh gadis cantik ini ketika membantu di sawah kala panen tiba. Kini berbanding terbalik, hawa dingin menusuk seiring dengan lebatnya hujan di luar.
Gemercik air tak henti-hentinya jatuh dari langit, membuat adik kecil nan lucu pun tak kuasa menahan keinginannya untuk hujan-hujanan. Dia adalah Nabila. Ia sekarang sibuk meminta izin kepada Ibu untuk bisa hujan-hujanan. Dengan gaun ala putri raja, Nabila lari kesana-kemari menikmati hujan yang dinanti-nanti.
“Bila.......... jangan hujan-hujanan, nanti kamu sakit!,” teriak Dinda pada adik kecilnya.
“Iya, kak. Nanti, sebentar lagi,” jawab Nabila tak menghiraukan kakaknya.
Dinda geram sekali ketika adiknya yang sering dipanggil Bila itu tak menghiraukannya. Dinda pun mendekati adiknya sambil mengatur napasnya yang tersengal-sengal karena lari mengejar adiknya.
“Ayo, Bila. Nanti kamu bisa sakit!”
Dinda menggenggam erat tangan Bila, lantas mengganti pakaian basah Bila. Kedua bersaudara itu saling menyayangi, rasa sayang itu nampak ketika Dinda khawatir Bila akan jatuh sakit karena hujan-hujanan. Kakaknya tahu betul adiknya tak cukup kuat kekebalan tubuhnya. Bila hanya terus tertawa menikmati hujan yang masih terasa basah di area badannya.
Setelah mengganti pakaian basah milik Bila, Dinda pun mengajak Bila nonton TV. Ruang keluarga yang menyatu dengan ruang tamu sekaligus membuat ruangan tampak luas. Dinda menggelar karpet hello kitty kesukaan Bila. Adik kecil ini riang gembira, matanya pun kini fokus pada layar televisi yang menampilkan film Spongebob. Sementara itu, Dinda kini sibuk membuat cemilan misda yang terbuat dari singkong. Disela-sela kesibukan menggoreng singkong yang telah di potong kecil-kecil, Dinda menjulurkan tangannya ke arah kompor. Rasa hangat pun menjalar seketika.
Mata indah milik Dinda menatap rumahnya yang sederhana. Ada rasa syukur yang hadir saat melihat langit-langit rumah tak bocor. Dulu banyak sekali titik bocor dirumahnya, namun kini beberapa tahun terakhir rumahnya telah direnovasi. Tiba-tiba Dinda memikirkan sesuatu, bagaimana dengan orang di luar sana yang keadaannya lebih buruk darinya? Tidur di luar, di kolong jembatan, tidakkah mereka kedinginan?
“Alhamdulillahirabbil’alamiin,” ucap Dinda bersyukur.
Rasa syukur itu akan dirasakan apabila melihat nasib mereka yang dibawah. Jika terus menatap dunia ke atas, maka iri, dengki, akan memenuhi hati.
Misda siap dihidangkan, dimasukkan ke dalam toples. Rasa manis pedas memenuhi lidah Dinda. Setelah masak, ia ikut menonton televisi bersama adiknya.
“Mmmmm.....enak, kak. Kapan-kapan buat misda lagi ya, kak?,” ucap Bila antusias.
“Siap.......”
Keduanya pun larut menonton film FTV. Renyahnya makanan misda menemani keseruan film.
Drrttttt......
Dering handphone terdengar, Dinda segera meraih handphone yang berada tidak jauh dari tempat duduknya. Tangannya dengan lincah menggeser layar ponsel. Pesan datang dari seseorang, WhatsApp segera dibukanya. Seketika berdatangan pesan dari orang-orang terdekat, dan ada satu yang menarik perhatiannya. Dia adalah guru yang sangat dihormatinya, yang akhir-akhir ini beliau sering menghubungi Dinda.
“Assalamu’alaikum Dinda, alhamdulillah buku kamu sudah terbit. Jika ada waktu silakan ke rumah.”
Begitu pesan singkat dari Pak Nur yang disertai dengan foto sebuah buku.
Dinda memegang handphone dengan tangan yang bergetar. Setelah sekian lama melewati liku-liku dalam proses pembuatan buku, akhirnya buku itu telah selesai terbit. Tidak pernah menyangka buku itu akan benar-benar terbit, dengan segala keterbatasan fasilitas yang ada. Namun, dengan segala petunjuk-Nya semua masalah terlewatkan satu persatu. Kini kemenangan pun telah hadir pada hati Dinda, ia bisa mengatasi dengan baik segala ujian yang dihadapkan padanya.
“Ibu.....ibu.....buku ku sudah selesai cetak Bu,” teriak Dinda dari ruang tamu.
“Yang benar saja? Sejak kapan kamu mulai menulis,Nak?,” jawab ibu dari kamar.
“Hehehe.....ketika di pondok Bu,” ucap Dinda cengengesan.
“Oalah...... semoga langkah mu selalu di ridhoi-Nya. Jadi, kapan bisa ambil bukunya?,” tanya ibu antusias.
“Siang ini juga, Bu. Setelah dzuhur.”
Rasanya seperti mimpi. Menjadi penulis buku best seller adalah salah satu impian besar Dinda. Kini, langkah menuju impiannya akan segera terwujud. Terkadang posisi sekarang adalah posisi yang diimpi-impikan sejak dulu.
Terik matahari menyengat, membakar kulit. Meski begitu sholat dzuhur tetap dilaksanakan dengan penuh suka cita. Lagi-lagi Alloh telah menyapa makhluknya. Inilah saat yang ditunggu-tunggu telah datang. Rasa khusyu cukup terasa, seolah hati dan bacaan telah sinkron. Meski sesekali urusan dunia masih berkelebat di pikiran. Interaksi antara hamba dan penciptanya yang sedang memanjatkan syukur. Mukena putih terbalut indah ditubuhnya, sajadah orange terlentang ke arah kiblat. Dari niat hingga salam, sesekali menangis penuh makna. Shalat menjadi pertemuan terbaik antara makhluk dan Rabnya.
Dinda menengadahkan tangannya, lantas mencurahkan isi hatinya. Bercerita panjang lebar hingga larut dalam kenikmatan yang dirasakannya.
Setelah melipat rapi mukena dan sajadah, langkahnya kini bersemangat untuk segera mengambil sebuah novel yang dalam covernya tertera namanya.
“Yah.... anterin aku ke pak guru,” rengek Dinda pada ayahnya.
“Mau ngapain?”
“Mau ambil buku karya aku, Yah....”
“Karya kamu? Sejak kapan kamu pinter nulis, Nak?”
“Ihhhhhh.......Ayah!!!!”
Dinda geram dengan tingkah ayahnya, ia menatap cemberut dengan wajah kusut, yang seketika minta disetrika. Laki-laki setengah paruh baya itu hanya tertawa cekikikan sambil menatap anak gadisnya.
“Ya sudah, sudah. Ayah antar. Kapan?”
“Saat ini juga.”
Ayah Dinda menepuk jidat, lantas segera bersiap.
Motor tua segera meluncur menyusuri gang demi gang. Ditemani dengan ayah dan adik kecil, Dinda akan segera mendapatkan apa yang sekian lama diimpikan. Lorong waktu membawanya kembali mengingat masa-masa dimana proses pembuatan buku yang berupa novel ini. Pikirannya kembali mengingat 6 bulan yang lalu sambil menikmati hawa dingin diperjalanan.
Kala itu langit biru dengan segala hiruk-pikuk keramaian khas anak SMA. Berbeda dengan sekarang, Corona telah mengubah dunia. Ayah mengantar Dinda ke sekolah hingga depan gerbang, disana telah berjajar beberapa mobil angkot.
“Ini kok banyak mobil angkot di sini, Nak?,” tanya Ayah Dinda setelah sampai di depan gerbang.
“Iya,Yah. Ini Dinda dan teman-teman akan pergi ke Banjar untuk mengikuti Pelatihan Menulis.”
“Bagus! Lanjutkan, Nak. Ayah pulang dulu,ya....”
“Ok. Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam.”
Gadis itu berpamitan, tak lupa mengecup tangan ayahnya. Ia terus memandangi sosok pahlawan dalam hidupnya, hingga ayahnya tak lagi terlihat.
Langkahnya pasti. Meski dalam pikirannya masih tersisa sebuah pertanyaan, tetapi ia tetap yakin bahwa dirinya harus maju. Gerbang sekolah bertuliskan SMA 2 Nusantara berdiri kokoh dihadannya.
“Assalamu’alaikum.....,” Sapa para petugas Osis.
“Wa’alaikumsalam....”
Dinda menjawab salam disertai dengan sebuah senyuman. Langkahnya cepat, kini yang ia rasakan adalah menjadi sorotan banyak orang. Getaran jantung terdengar ramai pada dirinya sendiri.
“Dinda..........!!!,” Sapa Wina mengejutkan.
Tangannya mengelus-elus dada. Rasa kaget membuat jantung seakan lepas dari tempatnya.
“Astagfirullohal’adzim.....sejak kapan kamu ada di sini?,” tanya Dinda.
“Sejak tadi. Hehehe, maaf ya. Kamu kayaknya kaget gara-gara aku....”
“Bukan kaget lagi, tapi terkejoet tau!!!”
“Ya sudahlah. Maaf.....ayo kita ke taman sekolah. Di sana udah pada kumpul....”
Dengan cekatan tangan Wina meraih tangan Dinda, menariknya hingga berjalan terseret-seret. Keduanya kembali tersenyum, tak semenyebalkan tadi.
Taman nampak penuh dengan siswa siswi yang bersiap mengikuti latihan. Semuanya tengah menunggu arahan dari bapak ibu guru. Meski banyak orang, tapi tak terdengar ramai. Masing-masing sibuk dengan ponselnya. Dinda duduk dekat pohon mangga bersama Wina. Memerhatikan sekeliling, lantas mengobrol saat rasa bosan melanda.
Menjadi pelajar yang multitalent adalah sebuah impian. Meski terkadang rintangan datang bertubi-tubi, gadis dengan postur tubuh tinggi dan berparas ayu ini tetap melangkah yakin. Mata hitamnya menatap sekolah barunya. Jenjang SMP sangat terasa perbedaanya dengan jenjang SMA. Dengan cepat Dinda berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya. Tak perlu menunggu lama, Bapak Nur hadir di tengah-tengah sebagian pelajar yang berminat dan ingin memperdalam kualitas tulisannya.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh.”
“Wa’alaikumsalaam warahmatullahi wabarokatuh,” jawab para siswa serempak.
“Bagaimana, semuanya sudah siap?”
“Siap, pak.”
“Sip. Langsung tanda tangan kehadiran lalu segera masuk mobil,” ucap Pak Nur mengarahkan.
Semua siswa bergiliran masuk ke angkot. Suasana tak menyenangkan mulai menyeruak pada hidung milik Dinda. Bau khas mobil membuatnya mual. Segera Dinda memilih posisi strategis dekat jendela. Akan ada hawa segar yang dapat membuatnya merasa lebih baik.
Dengan cepat mobil angkot melaju melewati pasar Langen. Pemandangan kesibukan tercipta disana. Hilir mudik orang membawa banyak jinjingan ditangannya. Berbagai macam kebutuhan tersedia. Pasar yang ramai buka pada hari senin, rabu, dan sabtu ini menjadi serbuan para ibu rumah tangga. Tak heran jika pada hari itu suasana Langensari ramai dan padat.
Kini jalan aspal yang dirasakan dengan nyaman. Berbeda dengan beberapa puluh tahun ke belakang. Jalan masih bebatuan yang becek. Irigasi dibangun cukup besar. Air mengalir dengan deras. Suaranya memekakkan telinga. Nampak indah di mata, beberapa bukit hijau yang menyejukkan. Hamparan sawah bak permadani tanpa ujung. Daun melambai-lambai seiring angin menerpanya.
Setelah sekian lama bergulat dengan tugas sekolah, dengan suasana yang sama. Akhirnya dapat menghirup udara segar. Meski di dalam angkot bau bensin menusuk hidung, tergantikan dengan suasana luar yang segar.
Melewati jalan berkelok. Diatasnya terdapat jalan kereta. Kala mendengar suara kereta lewat tak jauh dari situ, sesekali telinga berdenging. Jalan ini mengantarkan ke Dobo. Sebuah tempat dan suasana yang penuh akan kenangan.
Tak cukup menghabiskan waktu yang lama, mobil berhenti. Seketika para siswa berhamburan keluar. Spanduk pelatihan menulis terpampang jelas. Dinda dan Wina bergegas untuk masuk. Sebelum itu, mereka mengisi daftar hadir. Di atas meja dijual berbagai jenis buku. Rasa ingin memiliki hadir, tapi tak sebanding dengan uang disaku. Dinda memasukkan kepalanya terlebih dahulu di daun pintu. Telah banyak yang hadir. Dinda dan Wina pun memilih tempat duduk yang tidak terlalu depan dan tidak terlalu belakang. Semua telah disusun sedemikian rupa.
Bersambung.....
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar