MERDEKA UNTUK BAPAK #1
Mata sayu itu sesekali terpejam menahan kantuk. Aroma embun yang bercampur dengan tanah basah tak membuat netranya terjaga.
"bangun sab, sudah sampai". Sebuah suara membuat sabda terbangun. ia mengedarkan pandangan menatap sekeliling yang masih gelap. 04.30 bahkan terlalu dini untuk menyaksikan matahari terbit. Ladang masih terlihat gelap pun sunyi. Tubuh mungil Sabda melompat dari sepeda tua milik Bapak.
"Gelap pak"
Bapak memberikan sebuah senter seukuran kepala tangan orang dewasa pada Sabda "Pakai senter. Jangan dibuat mainan, baru Bapak servis kemarin"
Jemari Sabda yang hendak jail memainkan senter terhenti mendengar intrupsi Bapak.
"Bergegas, Bapak tidak mau kau terlambat ke sekolah"
hembusan nafas kecil lolos dari bibir Sabda "Sabda ingin tidak sekolah saja pak"
Bapak berjalan mendahului Sabda membiarkan senter yang di pegang Sabda menerangi jalanya. "Bolos?" tanya Bapak tanpa berbalik.
Bapak menebas beberapa ranting pohon yang menghalangi jalanya. Sabda menjawab takut takut "Sehari saja pak.. Nanti ada ulangan. Kemarin Sabda lupa tidak belajar"
"Siapa suruh tidak belajar?" suara Bapak tetap terdengar tenang. Tak terdengar tanda tanda akan marah.
"Tapi Bapak juga tidak menyuruh Sabda belajar"
mereka terus berjalan hingga tiba di tengah kebun diamana banyak pohon durian tumbuh. Banyak buah yang telah matang jatuh menguarkan bau manis khas durian matang. "Sabda.. sabda.. kapan kau hidup merdeka"
Sabda tampak berpikir beberapa sat seraya memperhatikan Bapak memungut beberapa buah durian. "Sabda sudah hidup merdeka pak.. buktinya sekarang tak ada penjajah."seraya meletakan buah durian yang tadi dipungutnya bapak berkata "merdeka itu bukan hanya pasal ada penjajah atau tidak Sabda."
"Lalu?"Bapak tidak langsung menjawab. ia menunjuk arah timur, di ujung kebun yang berbatas langsung dengan tanah lapang tempat penduduk biasa menggembala domba. "nanti bapak jawab, sekarang kamu kumpulkan durian di sebelah sana"
Sabda mengangguk mengerti lalu berjalan menuju arah yang ditunjuk bapak. Tangan Sabda terampil memungut buah durian yang banyak berjatuhan. Kala itu umur Sabda baru menginjak 10 tahun. Tak ada gurat lelah dalam wajah polos itu. Ia dengan semangat mengumpulkan buah durian di bawah salah satu pohon. Terus seperti itu hingga durian yang ia kumpulkan menyerupai gunungan kecil.
"Kalau sudah istirahat saja Sabda. buka bekal yang mamak bawakan tadi."
Seperti mendapat mandat anak itu bergegas menuju ke arah buntalan yang bapak letakan asal di samping sepeda lalu kembali duduk di ujung kebun menghada ke tanah lapang. Sabda membuka buntalan itu dengan wajah berbinar. 4 Potong ubi rebus yang sudah dingin karena terkeda udara pagi segera membuat perut Sabda berteriak tak sabaran untuk diisi. Sabda mencomot satu potong yang paling besar. Rasa manis dan legit segera mendominasi mulutnya setelah suapan yang pertama. Senyum rekah dibibir ranum alami Sabda.
"enak?"tanya bapak seraya duduk di samping sabda.
tangan kekar bapak mengambil satu potong ubi dalam buntalan diatas pangkuan Sabda asal lalu memakanya. Netra bapak memandang ke arah serupa dengan Sabda, ke arah matahari terbit.
"kau tau Sabda? Matahari adalah benda paling merdeka. oleh karena itu bapak suka memperhatikan matahari terbit"
"merdeka apanya? mana ada negara yang mau menjajah matahari. Belum sampai sana saja sudah terbakar dulu" Sabda berucap dengn mulut penuh ubi.
Bapak terkekeh melihat Sabda. Sabda menatap wajah itu. Wajah yang selalu teduh, wajah yang membuat Sabda ingin terus berlindung di balik pundaknya. Bapak mengelus pucuk rambur Sabda lembut.
"Matahri itu.. tidak perlu perintah untuk terbit. tidak perlu disuruh untuk tenggelam. Dan seperti yang kau katakan tak ada negara yang bisa menjajah matahari karena ia terlalu panas bahkan untuk sekedar didekati."
"sabda.. tidak faham pak"
Bapak terdiam menatap kearah timur dimana percikan percikan cahaya matahri beberapa saat lalu kini menyebar kepenjuru kaki langit. Sabda mengikuti arah pandang Bapak. Indah. Ia mengerti, mengapa bapak selalu bercerita tentang fajar. Tentang matahari lahir yang juga membawanya lahir. Benar, Sabda lahir tepat saat matahari terbit. Kala kicauan burung mengisi ruang ruang kosong dibalik jendela puskemas yang tak tertutub gorden. Kelahiran Sabda membuat beban keluarga itu sedikit teringankan. Setidaknya ada alasan untuk pulang sore ini. Setelah seharian memanggang punggung di tengah ladang.
Terpaksa bapak harus bekerja kebih giat kala itu. Karena hasil panen hanya dibeli setengah harga oleh tengkulak. Paceklik membuat mereka kesusahan bahkan untuk sekedar makan tiga kali sehari. Namun, lagi lagi sabda yang membuat mereka bertahan. Anak itu lahir ditengah paceklik tak berkesudahan di keluarganya. Seolah Sabda dalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolong keluarga kecil itu.
"Itu PR kau Sabda. cari arti dari merdeka yang bapak maksud"
ucap bapak setelah larut dalam lamunan panjang. yang membawa jiwanya seolah tertarik pada masa lalu.
"iya.. nanti sabda cari maksudnya. Tapi hari ini sabda bolos ya pak'
"tidak ada bolos bolos. habiskan makan kau biar bapak selesaikan pekerjaan dulu, setelah itu kita pulang, kau siap siap ke sekolah"
ucapan bapak berhasil membuat bahu sabda melorot. Habislah ia hari ini, pasti hasil ulanganya tak jauh dari nomor sepatunya.
BERSAMBUNG..
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar