Arts and Crafted Too Hard
Berawal sejak aku duduk dibangku SD, tanganku ini sudah setiap harinya memegang pensil, krayon, cat air, semua segala jenis alat menggambar pernah kupegang. Menggambar dan melukis menjadi hobi yang seharusnya menyenangkan membuatku berpikir apakah yang biasa kulakukan ini rasanya masih sama seperti dulu.
Semua dilakukan dengan pengorbanan. Seperti diriku yang sekarang mati-matian untuk bertahan dengan hobiku satu ini. Lomba yang kuikuti juga semakin dekat, tinggal seminggu lagi deadline untuk menggumpulkan lomba menggambar, yang diriku sendiri tidak tahu harus melukis apa. Semua terasa sulit, tak ada yang melintas dipikiran. Serasa ada batu yang menghalangi pikiran. Motivasi untuk menggambarku juga semakin buruk. Jadwal makanku yang berantakan, membuatku sering pusing dan pingsan tiba-tiba. Aku tak boleh terus-menerus seperti ini. Orang tua yang sudah mahal-mahal menyekolahkanku ke kuliah jurusan menggambar. Bagaimana aku akan membanggakan mereka jika seperti ini terus. Kuliah yang juga sudah mahal, ditambah jika lulus nanti belum tentu mendapat penghasilan tetap.
Aku kangen dengan diriku yang dulu, diriku yang benar-benar menikmati rasanya menggambar. Sensasi yang kudapat saat menyentuh pensil dan menggosokkannya pada kertas. Kuas yang seharusnya ringan, sekarang terasa sama seperti memegang batu yang berat. Ahh sudahlah, tidak ada gunanya aku berpikiran negatif terus. Sudah kubujuk dirku untuk berpikir positif, ehh masih saja ada awan berada di atas kepalaku, menghalangi pelangi masuk.
Malam itu hari ketiga sebelum deadline, tinggal menghitung jari dan hari ketujuhpun datang. Lihatlah aku yang malah menunda pekerjaanku dan malah menggambar diriku sendiri dalam kanvas. Sedang melihat matahari bersinar di kelilingi bunga matahari, dengan menggunakan topi rajut yang cantik. Sudah lama aku tidak menggambar dengan warna yang cerah. Oleh sebab itu hatiku yang entah kenapa juga ikut tersenyum tertular energi positif dari gambaranku itu. Mataku yang sedari tadi lelah sedikit demi sedikit membujukku untuk menaiki ranjang kasur. Karena tak tahan, akupun segera menyiapkan bantal guling dan selimutku. Tertidur lelap.
Paginya aku terkaget bukan main, sampai hampir jatuh dari kasurku. Seperti Bagaimana tidak, aku melihat diriku sendiri di depan lukisan yang kubuat kemarin. “Ini...aku keluar dari lukisanmu ini…keren sekali ya.” Panik. Selama 23 tahun tak pernah sekalipun lukisanku benar-benar menjadi nyata senyata lukisanku kemarin yang kini melihatku dengan wajah ramah. “Aku bisa menyelesaikan tugas lukisanmu untuk lomba itu.” Tawar clone yang ada di depanku dengan senyum. Tunggu..tunggu bagaimana bisa diriku yang kedua ini tahu soal ini. Aku tak pernah bercerita kepada siapapun kecuali ketika aku menggerutu saat menggambar di kamarku ini. Semua ini tidak bisa kucerna dengan cepat. Aku juga barusan bangun, masih berusaha mengumpulkan nyawa untuk sadar.
Diriku yang kedua ini tidak berbahaya. Setelah histeris ketakutan, aku lama kelamaan terbiasa dengan keberadaan Ia. Anehnya aku merasa nyaman dengan diriku yang kedua dan sekarang sedang duduk makan pagi bersamaku di meja makan mengajaknya mengobrol. “Aku ada karena keinginanmu yang sangat kuat, tak sadar aku pagi ini tepat berada di sini.” Hal mustahil apalagi ini. Bagaimana suatu lukisan bisa menjadi nyata, itu semua hanya ada di cerita-cerita yang sering kulihat di media sosial.
Tetapi aku malah berpikir hal ini bagus. Mungkin saja diriku yang kedua bisa menggantikanku dengan melukis dan menggambar. Ternyata benar saja. Ia sangat jago, style-nya yang mirip sekali dengan diriku 5 tahun yang lalu dimasa-masa menggambar masih menyenangkan bagiku.
Akupun terpikir ide yang menguntungkan. Mumpung ada diriku yang kedua mengapa tidak dicoba saja? . “Oke, mulai saat ini namamu adalah Guen sama seperti namaku, Guen kamu akan ditugaskan menggantikan aku untuk mengikuti lomba melukis itu.” Guen kedua melihatku dengan mata yang bersinar dan berkata “Siap, Guen!” sambil bergaya hormat kepadaku. Kami tertawa bersama.
Ternyata Ia sangat berguna dari yang kubayangkan.Selain melukis untuk lomba itu, Ia juga mengerjakan PR kuliahku yang entah dari mana Ia mengetahuinya. Meskipun terasa aneh, tetapi aku sangat terbantu dengan ‘Guen Kedua’ saat ini. Akupun terpikirkan ide yang sangat beresiko untukku. Aku meminta Guen Kedua pergi menggantikanku ke kuliah dan mencatat dan mengerjakan tugas-tugasnya, tentu saja aku juga membantunya. Herannya Guen kedua setuju dengan permintaaku.Yah, cuma beberapa hari saja kok, hal buruk apa yang bisa terjadi?.
Semua berjalan dengan lancar seperti yang kuperkirakan. Guen Kedua mengerjakan tugasnya dengan sangat baik. Selain itu Aku juga sering mengobrol dengannya yang alhasil kami berdua semakin menjadi akrab. Akrab dengan diri sendiri. Pengumuman hasil lomba melukis sudah dekat dan untunglah sudah selesai lukisan yang Guen Kedua buat. Hasilnya bagus dan menarik, tetapi aku tak peduli menang atau tidaknya, asalkan aku bisa bebas dari hobiku itu. Lagipula sekarang aku lebih merasa bahagia kembali sejak kedatangan Guen Kedua yang entah dari mana keluar dari lukisan yang kubuat dengan penuh perasaan saat itu
Pengumuman hari pemenang peserta melukis pun tiba. Aku dan Guen pergi ke tempat aula luas yang memiliki panggung. Tentu saja aku menutupi wajah diriku agar Guen saja yang terlihat. Keadaan di sini sangat ramai mau muntah rasanya jika menunggu di sini. Tetapi untunglah MC datang tak lama kemudian membawakan acara.
Satu persatu karya mereka termasuk karya Guen Kedua dipajang. Ketika itu juga MC mengumumkan pemenang dari semua karya lukisan yang dipajang tersebut. “Pemenang pertama di raih oleh Guen!, selamat kepada pemenang” disaat yang bersamaan semua orang bertepuk tangan, termasuk aku. Tetapi tidak dengan raut wajah Guen Kedua, melihatku dengan penuh kecewa. Guen Kedua tidak menaiki panggung tetapi lari keluar menghiraukan orang-orang yang melihatnya keheranan. Akupun bergegas mengikutinya dari belakang.
“Guen!!!, Guen tunggu…mengapa engkau tiba-tiba lari?” Aku bertanya kepada Guen Kedua dengan gelagapan lelah mengejar Guen Kedua yang tiba-tiba berhenti berlari. “Selama ini aku sembunyikan perasaanku…Aku selalu membujukmu agar kau kembali pada hobimu. Melihat kamu senang dan bersemangat membantu tugas yang seharusnya milikmu sendiri, mengapa kau malah memilih berhenti?.” Aku yang mendengar semua itu terdiam.
Memang sedari dulu aku sudah mulai berhenti. Sejak aku mengalami artblock yang lama kelamaan keterusan. Harapan untuk menggambar dan melukis seolah sudah tidak ada dalam diriku lagi. Akupun juga tahu betul bahwa menyuruh Guen Kedua untuk melukis dan menggambar dengan menggunakan namaku yang bukan akulah yang sebenarnya membuatnya. Raut wajah Guen Kedua tambah sedih melihatku. “Guen. Kamu tahu mengapa aku tiba-tiba keluar dari lukisanmu sendiri?, itu semua karena aku kangen dengan engkau yang membuat gambar dengan semangat lagi. Aku mewakili gambar-gambar yang pernah kau buat. Ingin mengajakmu kembali untuk menggambar. Tetapi ternyata sampai saat ini kau masih tidak mau kembali menggambar.” Aku yang mendengar hal itu ikut sedih. Ternyata selama ini gambar dan lukisan yang aku buat mempunyai rasa yang kuat, sampai-sampai ingin memberitahukan sendiri kepadaku. Aku tak sadar Guen Kedua yang selama ini dengan serius mengajakku kembali menggambar.
“Maafkan aku…tapi sepertinya aku tidak bisa melanjutkannya kembali.” Guen Kedua yang mendengar hal itu terlihat sedih. Lalu menunduk seakan menahan sesuatu. “Baiklah kalau begitu. Terima kasih sudah membuat gambar-gambar yang begitu mengagumkan dengan tanganmu. Aku bersyukur menghabiskan waktu denganmu. Alas aku tidak bisa berlama-lama disini. Tugasku sudah selesai. Selamat tinggal, Guen.”
3 tahun berlalu. Setiap diriku melihat lukisan atau gambaran yang terpajang, aku jadi teringat temanku dahulu. Sudahku beritahu kepada orang-orang tentang semua kejadian 3 tahun lalu itu. Nihil. Tidak ada yang percaya. Yahhh wajar saja, orang pasti tidak akan berpikir hal itu mustahil terjadi. Bagaimanapun juga, soal kemenangan yang bukan milikku itu sudah aku atasi juga dengan mengembalikannya kepada juri. Binggung mereka dibuatnya.
Kejadian itu juga menjadi koreksi dari kesalahanku yang menyalahgunakan barang yang bukan punyaku. Sekarang aku bekerja di toko kue milik Orang Tuaku. Kecewa mereka, melihat putri sulungnya berhenti melakukan hobinya. Tetapi lihatlah sisi baiknya, aku bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama orang-orang yang kusayangi. Lagipula aku jadi bagian distribusi roti kedua orang tuaku yang sekarang dapat dibeli online, tambah besar penghasilan yang didapat. Ingatan tentang teman lamaku bagaikan harta karun. Biarkan mereka semua tidak percaya dengan cerita-ceritaku, hanya aku dan dia. Gambaran yang aku buat dengan penuh rasa.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Jangan pernah nyerah dengan kemampuan mu ok