4. Olimpiade
4. Olimpiade
“Baik semuanya, saya tutup meeting kita hari ini.. oh ya, satu lagi. Pada tanggal 22 nanti, harus ada yang mewakili perusahaan kita untuk pergi ke Medan, mengajukan proposal kepada perusahaan tetangga, PT. Garuda Jadja.. yang akan pergi ke kota Medan adalah pak Andra juga bu Karina. Baik sekali lagi sekian dari saya, mohon maaf bila ada salah kata dan sikap, Wassalamu’alaikum.” Pria paruh baya itu menutup rapat dengan anggotanya. Nama yang disebutkan hanya memandang satu sama lain. Semua yang berada di ruangan itu pun satu persatu meninggalkan. Hanya tersisa Karina dan Andra yang masih menduduki kursi di ruangan itu.
“Yah, nanti berarti tanggal 22 kita ke Medan? Kan Kevin ke dokter buat check up..” Karina menatap suaminya.
“Yaiyalah bun, kan gak mungkin kita tunda proposal?” ucap Andra seraya beranjak dari tempatnya.
“Iya sih,” Karina menjawab juga mengikuti langkah suaminya. Mereka pun kembali ke ruangan kerja dan berisap-siap akan pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore. Sudah waktunya untuk kembali ke rumah, mengistirahatkan raga dan pikiran.
Pada saat yang bersamaan, seorang lelaki dengan raganya yang belum sepenuhnya sembuh mengendarai mobil milik ayahnya. Ia berniat menjemput kedua adiknya di sekolah. Ia menjemput bukan dengan keinginannya sendiri. Melainkan ibunda yang menyuruhnya untuk pergi mengendarai kendaraan beroda empat itu. Sebenarnya rasa sakit masih menyerang bagian bawah dada lelaki itu. Ia hanya mematuhi perkataan sang bunda untuk menjemput adiknya.
Ketika memasuki kawasan sekolah, ia pun memarkirkan mobilnya. Kemudian diikuti dengan turun dari mobil, berjalan ke arah kawasan Ikhwan atau laki-laki disana. Ketika berada di depan koridor yang terdapat tangga, ia bertanya kepada sekelompok anak yang sedang santai di anak tangga.
“Kakaknya Kenzo ya kak?” tanya salah satu siswa. Ia memiliki tubuh tinggi juga memakai kacamata.
“Iya dek, Kenzo nya ada?” tanyanya lagi.
“Ada kak, tadi dia didalam kelas, sebentar gue panggil.” Ucap siswa lainnya. Ia pun menunggu adiknya datang menghampiri. Tak lama kemudian, Kenzo datang menggendong tasnya dengan wajah yang sukar diartikan. Mereka pun berjalan menyusuri plaza sekolah. Untuk pergi ke lapangan parkir, dan ke kawasan Akhwat alias siswi.
“Ngapa si muka lo? Masam amat,” Kevin bertanya ketika sudah memasuki mobil.
“Gue yang harus nanya, ngapa lo yang jemput?” tanya Kenzo yang mengkhawatirkan kondisi kakaknya itu.
“Gue, disuruh bunda.” Kevin menjalankan kendaraan itu. Kenzo yang mendengarnya hanya berucap Istighfar seraya menatap Kevin lekat-lekat.
“Kenapa lo mau si bang? Padahal lo tu lagi sakit, harusnya lo istirahat di rumah bang.” Kenzo menghela napasnya gusar.
“Dasar emang bunda, tau abang sakit disuruh-suruh, harusnya bunda gak gini bang.” Lanjutnya, ia merasa bahwa bundanya bahkan tak peduli dengan kesehatan putra sulungnya.
“Astaghfirullah Ken! Bunda tetep bunda, kalau bunda nyuruh gue buat jemput yaudah, gue harus patuh sama bunda. Gak ada yang boleh kan buat ngelawan kata orang tua?” Kevin menghentikan mobilnya. Seorang gadis yang menggunakan gamis polos berwarna hijau juga kerudungnya menatap mobil yang terparkir di depan tangga koridor. Saat mengetahui isi mobil yang menunjukkan kakak keduanya yang duduk di jok sebelah pengemudi, ia pun pamit kepada teman-temannya dan berlari menuju mobil itu. Tak kalah terkejut dengan Kenzo, Keira juga heran saat Kevin lah yang mengendarai kendaraan beroda empat.
“Abang?” Keira menatap kakak sulungnya.
“Ya Kei? Gue emang mau jemput kok, yaudah sekarang kita capcus pulang.” Kevin berucap tak sepenuhnya benar. Mereka pun segera pulang ke rumah tanpa menghampiri minimarket maupun tempat-tempat lainnya. Keira yang heran akan Kevin ingin menjemput adiknya hanya diam duduk di jok belakang mobil. Ia hanya bertanya-tanya di dalam pikirannya. Dan tak mengemukakan keheranannya.
Sesampainya di rumah, mereka kembali ke ruangan masing-masing. Keira yang juga pergi ke kamarnya langsung meraih handuk juga mengambil baju gantinya. Ia pun berjalan menuju kamar mandi untuk melaksanakan aktivitas membersihkan dirinya.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 5 sampai 10 menit untuk berada di bilik itu. Setelah menjemurkan handuk di balkon kamarnya, ia memakai conditioner untuk merapikan rambutnya. Setelah itu, ia berniat untuk menonton televisi dan menunggu orang tuanya pulang dari kerja. Keira menyusuri anak tangga untuk sampai di lantai bawah dan menduduki sofa di depan televisi. Ia sempat memainkan ponselnya sebelum menghidupkan serial yang ingin ditontonnya.
“Assalamu’alaikum!” ucapan salam itu terdengar dari depan rumah Keira. Yap, itu adalah ucapan salam khas dari Karina.
“Wa’alaikumussalam bunda,” Keira menjawab salam dari sang bunda. Ia pun menyalami punggung tangan Karina dan Andra bergantian.
“Apa tu bun?” tanya Keira yang melihat tangan kiri Karina yang menggenggam kantong plastik.
“Ini? Ini makanan buat ntar malem. Bunda ke dapur dulu ya,” Karina berucap seraya melanjutkan langkahnya menuju dapur. Sedangkan Andra memilih untuk duduk di sofa yang juga berada di dekat televisi. Ia membuka ponselnya dan memainkan jemarinya. Keira pun melanjutkan menonton acara favoritnya.
“Ayah,” ucap gadis itu saat acara televisi sedang bergantian dengan iklan.
“Ya?” Andra masih menatap benda pipih miliknya.
“Tau gak? Nanti aku ikut Olimpiade matematika loh!” Ujar Keira dengan semangat.
“Oh ya? Bagus lah, kapan emangnya?” tanya Andra. Kali ini pandangannya beralih menatap putri bungsunya.
“Nanti tanggal 23 Olimpiadenya yah.” Keira menjawab ayahnya.
“Lah, kebetulan banget ayah sama bunda pergi ke Medan tanggal 22..” ucap Andra santai.
“Kok mendadak banget si yah?” Keira menatap manik mata Andra. Ia merasa sedih saat mengetahui bahwa orang tuanya tak dapat mendampingi ketika ia akan pulang dari berjuang.
“Ayah sama bunda juga baru banget di kasih tau sayang,” tutur Andra menenangkan Keira.
“Emang ayah ngapain sih?” tanya Keira yang begitu penasaran juga bahkan ada rasa geram yang menghantuinya.
“Kerja lah Kei, ayah disuruh nyampein proposal ke perusahaan tetangga ayah, ayah yakin kok kamu bisa Olimpiadenya.” Andra tersenyum kepada putrinya.
“Ayah ke kamar ya,” lanjut Andra seraya beranjak dari sofa. Ia pun berjalan menuju dimana anak tangga berada.
‘Kenapa yak, ayah sama bunda selalu gak ada kalo pas kondisi begini.. padahal abang butuh banget dukungan dari ayah sama bunda, dan kenapa gue selalu jadi posesif banget gini yak?’ batinnya bertanya-tanya. Memang dahulu ia tak terlalu peduli dengan kehidupannya. Terlebih lagi dengan kecanggihan teknologi yang semakin meningkat, juga sekolah yang tak mengajarkan akan dakwah, mengajarkan dan menyampaikan kebenaran kepada orang lain. Yap, saat memasuki bangku sekolah menengah pertama, ia menginjakkan kaki di sekolah Negeri. Bukan sekolah islam terpadu seperti sekarang. Ia hanya kembali memandang televisi yang kembali memutar acara favorit itu. Dan Keira bertekad akan berusaha untuk membuat kedua orang tuanya sadar akan mengurusi rumah tangga sangat lah penting, terlebih lagi berkumpul dengan keluarga yang harusnya setiap saat terlaksana.
●●●
“Lo hari ini latihan?” seorang gadis bertanya pada temannya. Kali ini siswa dan siswi sekolah mereka berada di ujung waktu pembelajaran. Sekarang telah menunjukkan pukul empat sore, waktu pulang sekolah telah tiba.
“Iya, abis ini latihan ama yang lain.. lo?” temannya kembali melempar pertanyaan.
“Sama, gue juga.” Gadis itu berucap.
“Gue duluan ya Kei,” lanjutnya seraya menggendong tas ranselnya.
“Iya Mar,” jawabnya. Sore ini sebelum pulang, ia akan melakukan latihan matematika ekstra untuk Olimpiade nanti. Ia akan berlatih dengan bu Euis dan peserta lainnya. Latihan ini dilakukan secara campur, alias menggabungkan siswa dan siswi dalam satu ruangan. Namun tetap diberikan hijab atau pembatas untuk siswa dan siswi agar tak terjadi interaksi langsung maupun tidak langsung.
“Hai Keira!” seorang gadis mengejutkannya dengan menepuk bahu Keira dari belakang.
“Astaghfirullah, hai juga Dindra.” Dindra Nayunda namanya. Gadis yang aslinya berasal dari Sorowako, yang berpindah tempat tinggal ke ibu kota. Ia adalah gadis cantik, cerdas, juga sangat baik hati. Dindra adalah salah satu ahli eksak di sekolah Sriwijaya. Ia memiliki prestasi yang sangat banyak, terlebih lagi dalam bidang bahasa Indonesia. Biasanya Keira akan berjuang menghadapi perlombaan bersama Dindra. Dindra memiliki saudara kembar, namun tidak seiras alias memiliki kembaran lelaki. Namanya Devan Naufal Yusuf. Biasanya Devan juga akan mengikuti perlombaan seperti ini.
“Hehe, kaget ya?” kekeh Dindra menyamakan langkahnya dengan Keira.
“Iya Din, kaget gue. Oya, mau ke kelas X kan?” Keira bertanya.
“Iya, lo juga kan?” tanyanya lagi. Disusul dengan anggukan Keira yang meyakinkan.
“Devan ikut Din?” Keira bertanya. Ia hanya sekedar ingin tahu apakah saudaranya mengikuti perlombaan kali ini.
“Ikut, dia Inggris tapi.” Jawabnya santai. Keira hanya ber oh ria mendengarnya. Mereka pun melanjutkan perjalanan menuju kelas X untuk berlatih. Saat sampai di ruangan itu, mereka melihat sebuah papan yang menjadi pembatas meja siswa dan siswi. Juga para siswa yang sudah menduduki bangku di seberang sana. Keira dan Dindra pun menduduki bangku yang berada disana. Di atas meja telah terletak beberapa lembar kertas yang berisikan soal-soal matematika.
“Akhwat,” suara berat itu terdengar dari seberang hijab. Jika ada yang ingin disampaikan, ikhwan atau para siswa memanggil siswi dengan sebutan seperti ini. Begitu pun sebaliknya.
“Ya?” Keira menjawab. Karena memang Dindra yang menyuruhnya dan tak ada yang lain selain mereka.
“Kata bu Euis kerjakan soalnya, setelah itu nanti dikoreksi bersama.” Siswa itu memiliki amanah atau perintah dari Euis. Menyampaikan suruhan pengerjaan soalan matematika tadi.
“Oke ikhwan, syukran.” Keira mengakhiri pembicaraan. Seperti itulah interaksi dalam islam. Dibolehkan karena 3 hal. Yang pertama, alasan Pendidikan. Contohnya interaksi antar guru dan murid yang bukan mahram. Yang kedua, alasan kesehatan. Contohnya saat pasien perempuan yang ditangani oleh dokter laki-laki. Yang ketiga, alasan muamalah atau transaksi. Contohnya berkomunikasi dengan penjual ataupun sopir kendaraan umum. Selebihnya diperbolehkan dengan ‘uzur syar'i atau keperluan khusus. Seperti tadi, memberitahu perintah dari guru dan sebagainya. Lebih dari itu, tidak diizinkan dalam islam.
“Yaudah Din, gue kerjain dulu.” Ucap Keira seraya mengeluarkan alat tulisnya dari dalam tas.
“Oke,” Dindra juga mengeluarkan tempat pensilnya. Mereka pun mengerjakan soalan itu dengan teliti.
“Assalamu’alaikum anak-anak,” wanita paruh baya yang memakai baju gamis itu memasuki ruangan. Euis tampak membawa banyak kertas yang ditumpukkan di genggamannya.
“Wa’alaikumussalam ibu,” semua murid serentak menjawab. Sebagian besar dari mereka sudah mengerjakan latihan matematika itu.
“Kalian sudah kerjakan semuanya?” tanya Euis santai.
“Sudah ibu,” seisi kelas kembali serempak berucap.
“Baiklah, sekarang kita koreksi bareng-bareng.. silakan tukar dengan temannya.” Ucap Euis seraya membuka spidol untuk menulis juga menjelaskan soalan yang akan dikoreksi. Olimpiade matematika ini diikuti oleh semua kalangan siswa dan siswi. Ada yang terseleksi langsung seperti Keira dan Haikal. Namun selain mereka berdua harus mengikuti seleksi terlebih dahulu. Dan hasil seleksi kemarin hari adalah 2 siswa dan 1 siswi. Salah satunya adalah Dindra. Mereka akan terus berlatih hingga mahir dalam rumus juga teknik yang berada dalam matematika.
“Oh iya, ibu mau tanya. Adakah yang jawabannya benar semua?” Euis bertanya saat selesai membahas jawaban anak muridnya. Disusul dengan acungan tangan Dindra yang tiba-tiba.
“Ya Dindra?” tanggap Euis melihat Dindra yang mengangkat tangannya.
“Keira bu, Keira gak ada yang salah.” Dindra menatap lamat-lamat selembar kertas yang berada di hadapannya.
“Maasha allah, keren sekali kamu nak.. pertahankan dan terus belajar ya,” ucap Euis memandang Keira yang juga sangat terkejut dengan pengakuan Dindra.
“Terima kasih ibu,” Keira berucap senang.
“Beneran gue bener semua Din?” ia menatap temannya lekat-lekat.
“Iya eh, selamat Keiraa!” Dindra berucap semangat namun dengan suara yang pelan agar tak terdengar oleh para siswa.
“Baiklah anak-anak, ibu tutup pertemuan kita kali ini.. mudah-mudahan setiap hari Sabtu seperti ini, kita dapat berlatih agar lancar di olimpiade nantinya. Baik sekian dari ibu, mohon maaf bila ada salah kata salah sikap, Wassalamu’alaikum anak-anak.” Tutur Euis seraya beranjak dari tempatnya.
“Wa’alaikumussalam ibu,” jawab murid-murid.
“Silakan yang akhwat duluan keluar,” Euis mempersilakan. Keira dan Dindra pun bergantian menyalami punggung tangan Euis. Mereka pun keluar ruangan dengan santai. Mereka juga saling berpamitan untuk pulang. Hari ini Keira akan dijemput menggunakan sepeda motor oleh Kenzo. Karena memang Kenzo sendiri yang ingin menjemputnya. Juga karena kondisi Kevin yang tidak memungkinkan untuk sering mengendarai mobil ataupun beraktivitas banyak.
“Kei!” Panggil seorang lelaki yang membawa motornya ke depan koridor para siswi. “Ayo pulang!” lanjutnya. Keira yang berada tak jauh dari arah lelaki itu langsung menoleh juga menghampiri kakak laki-lakinya itu.
“Ayo bang,” ucap Keira seraya memakaikan helm di kepalanya. Mereka pun pulang dengan hati-hati juga menikmati perjalanan yang tak terlalu jauh.
●●●
“Assalamu’alaikum pak?” seorang lelaki paruh baya itu mengangkat telepon dari rekan kerjanya. Ia sedang menduduki bangku meja makan di rumahnya. Menunggu sang istri untuk menghidangkan makanan. Disana juga terdapat putra sulungnya. Kedua anaknya masih berada di lantai atas yang akan datang sebentar lagi.
“Alhamdulillah, kalau begitu bapak ikut kesana?” tanya Andra menanggapi balasan dari seberang sana. Kini langkah kaki terdengar dari tangga. Berjalan menuju lantai bawah. Keira dan Kenzo kemudian menduduki bangku yang berada di samping Kevin. Juga Karina yang meletakkan semangkuk tumisan kangkung di tengah meja makan.
“Ya allah, besok jadinya?” Andra tampak terkejut dengan ucapan rekannya itu. Karina yang meletakkan kembali sepiring ayam goreng tepung kini menatap suaminya. Sekarang mereka bersiap untuk makan malam bersama di meja makan itu.
“Oh, baik pak.. terima kasih informasinya, semoga dilancarkan ya pak.. aamiin, assalamu’alaikum.” Andra menutup telepon.
“Kenapa yah?” tanya Karina yang sedari tadi memerhatikan Andra.
“Ini bun, tadi pak Pituk telepon.. katanya yang ke Medan di majukan besok. Jadi besok sore kita langsung berangkat bareng pak Pituk.” Ucap Andra seraya menyendok nasi di bakul.
“Kok bisa yah?” tanya Karina yang juga tak kalah terkejut.
“Katanya biar urusan cepat selesai.” Andra menjawab singkat. Ketiga anaknya hanya mendengar baik-baik percakapan antar bunda dan ayah mereka.
“Berarti besok Kenzo anterin ayah sama bunda ya, bunda juga abis ini langsung siapin barang yang buat dibawa besok ya bun,” Andra berucap santai. Disusul dengan anggukan Karina karena ia sedang menegak air mineralnya.
“Iya yah,” kali ini Kenzo berucap menatap ayahnya.
‘Udah lah ya, pasrah aja.. serahin semua ke allah, kan skenario allah yang terbaik.’ Batin Keira pasrah. Ia sangat ingin bila orang tuanya mendampingi. Keira juga sangat ingin bila Andra dan Karina berada di samping kakak sulungnya ketika menjalankan check up. Ternyata semua itu masih belum sesuai dengan skenario tuhannya yang Mahakuasa. Dan Keira pasti meyakini bahwa ada hikmahnya jika tuhannya memberikan skenario seperti ini. Mereka pun melanjutkan acara makan malam bersama.
Karena masa belum menunjukkan waktu shalat isya, maka kali ini Keira, Kenzo, dan Kevin berjalan menuju ruang tamu. Untuk menonton televisi sebelum melaksanakan shalat isya. Berbeda dengan Andra dan Karina yang langsung menuju kamar mereka, menyiapkan barang-barang yang harus dan akan dibawa ke kota Medan.
“Bang, emang gapapa kalo nanti bunda gak nemenin pas lo check up?” tanya Keira kepada Kevin yang duduk di sofa dekat televisi.
“Gapapa lah, padahal gue seneng banget kalo ayah sama bunda nemenin.” Ucap Kevin memandang wajah kedua adiknya bergantian. Mereka pun membuka televisi dan mulai menonton.
Tak lama mereka menatap televisi, terdengar adzan berkumandang dari masjid yang berada di perumahan mereka. Mereka bertiga yang mendengar jelas panggilan untuk menunaikan ibadah itu pun mematikan televisi. Kevin yang beranjak dan berjalan menuju tangga. Ia berniat untuk mengambil peci dan sarung untuknya dan Kenzo. Setibanya di lantai atas, ia langsung menuju kamarnya dan mengambil perlengkapan shalatnya. Kevin juga tak lupa menghampiri kamar orang tuanya, berniat mengajak sang ayah untuk shalat berjamaah di masjid.
“Yah,” Kevin berucap seraya mengetuk pelan pintu kamar ayah dan bundanya.
“Iya?” sahut Andra dari dalam kamar. Kemudian dibukanya pintu kamar untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.
“Ayo ke masjid yah, sudah masuk waktu isya kan.” Kevin mengajak ayahnya pergi ke masjid.
“Oke nak, sebentar ya.. ayah ambil sarung dulu, kamu tunggu saja di bawah.” Ucap Andra mengiyakan. Kevin pun kembali melangkahkan kakinya menuju lantai bawah. Sampai di bawah, ia memberikan sarung dan peci kepada adiknya. Dan berkata bahwa akan menunggu ayah agar berangkat ke masjid bersama.
“Ayo,” suara berat Andra terdengar. Ia sudah menggunakan sarung juga kopiah dengan rapi.
“Ayo yah, Kei langsung shalat sono.” Kenzo berucap. Mereka pun keluar rumah dan tak lupa membawa kunci. Keira langsung berjalan menuju lantai atas untuk melaksanakan shalat isya. Ia juga berniat akan mengajak Karina untuk melaksanakannya bersama.
“Bunda,” ucap Keira seraya mengetuk pintu kamar orang tuanya.
“Ya Kei?” Karina menyahut dan membukakan pintu.
“Bunda, ayo shalat berjama'ah.” Ucap Keira di depan pintu.
“Tapi barang bunda belum di kemas semuanya,” tutur Karina menyatakan barangnya yang belum terkemas semua.
“Nanti aku bantuin deh bun, tenang aja.” Ucap Keira meyakinkan bundanya.
“Oke anak bunda! Yuk shalat disini aja,” Karina mengajak putrinya shalat di kamar miliknya.
“Tunggu bun, aku ambil mukena dulu.” Keira pergi menuju kamarnya dan mengambil mukena miliknya. Setelah itu, Keira pun menjadi imam shalat isya di kamar sang bunda. Ia merasa sangat senang bisa bersama dengan Karina. Karena sangat jarang ia bisa bersama seperti ini.
Setelah selesai melaksanakan ibadah, Keira membantu Karina untuk memasukkan baju-baju juga barang yang akan dibawa ke Medan. Berkemas-kemas sangat lah cepat bila dikerjakan bersama-sama.
“Siap!” Keira menepuk koper berwarna hitam itu. Ia telah mengepak semua yang dibutuhkan juga disiapkan oleh bundanya tadi.
“Alhamdulillah, makasih ya Keii.” Karina mencubit hidung putrinya gemas.
“Iya bunda!” Keira memeluk sang bunda. “Oh iya bun, bunda pulang kapan?” tanya Keira penasaran. Ia juga tak ingin berlama-lama tanpa orang tua di rumah.
“Hm, nanti kalau urusannya sudah selesai.. bunda langsung pulang kok,” tutur Karina lembut. “Kamu jangan lupa belajar ya, tadi ayah bilang kamu ikut Olimpiade matematika..” lanjutnya.
“Oke bunda!” Keira berucap senang.
“Kamu tidur gih sono, besok tahajjud kan?” tanya Karina sekaligus mengingatkan Keira akan shalat tahajjud di pagi nanti.
“Oh iya bun.. oke deh bunda, aku ke kamar ya.” Keira menjawab bundanya.
“Iya, langsung tidur loh ya, jangan main handphone mulu..” ucap Karina memberi tahu.
“Siap bunda, dadah.” Keira melambaikan tangannya. Karina hanya mengangguk seraya tersenyum melihat tingkah putrinya. Sebelum merebahkan tubuhnya di ranjang, ia menuju kamar mandi untuk mengambil wudhu. Setelah itu barulah Keira mengistirahatkan raga dan pikirannya untuk malam ini. Tak lupa untuk memanjatkan doa sebelum tidur, ia pun mulai memejamkan matanya dan tertidur. Begitu pun dengan keluarganya yang juga berada di kasur dan kamar masing-masing.
●●●
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar