3. Ayah dan Bunda
3. Ayah dan Bunda
“Yah, abis ini anterin bunda ke supermarket ya, mau beli bahan makanan yang gak ada.” Wanita paruh baya itu berucap. Saat ini, keluarganya sedang menikmati santapan malam hari.
“Siap bunda!” suami wanita itu terkekeh. Mereka pun menyegerakan acara makan dan pergi ke pusat perbelanjaan.
“Bang, Ken, Kei, bunda sama ayah pergi dulu.” Karina berucap pada buah hatinya.
“Tunggu deh bun,” Keira menatap sang bunda. “Kayaknya ada yang kurang bun,” lanjut gadis itu.
“Apaan emang? Make up bunda kurang ya?, atau baju bunda gak modis?” Karina memerhatikan pakaiannya.
“Hm, bunda kalo keluar rumah harusnya pake gamis kayak aku,” Keira berucap. “Kan bunda makin cantik kalo pake gamis.” Lanjutnya.
“Ih, bunda tuh gak mau ribet-ribet. Apalagi kalo sampe bunda diketawain dan dibilang nenek-nenek, kan bunda gak mau.” Karina tak menerima saran putrinya. “Yaudah yah, ayo langsung capcus ajah.” Andra dan Karina meninggalkan rumah. Keira yang mendapat respon seperti itu hanya menghela napasnya.
‘Selalu saja gitu, bunda gak mau pake jilbab(gamis) kalo keluar. Kapan yak bunda mau denger aku dan pake jilbab?’ batin Keira bertopang dagu. Mendengar kata-kata sang bunda, Kevin menghampiri adik perempuannya itu. Ia menduduki sofa yang berada di depan televisi.
“Sabar aja ya kalau bunda kayak gitu, semua itu memang butuh proses kan?” ucapan Kevin hanya ditanggapi dengan senyuman masam dan anggukan pelan. Disusul dengan Kenzo yang ikut menduduki sofa yang sama dengan mereka.
“Bang, besok lo Ablasi kan?” tanya Kenzo.
“Iya, besok lo berdua ikut ya.. Kan libur toh?” Kevin memastikan.
“Iya kok, kita libur.” Kali ini Keira berucap. Mereka hanya menonton acara televisi seraya berbincang ringan. Tak lama setelahnya, Karina dan Andra kembali dari pusat perbelanjaan.
“Assalamu’alaikum anak bunda!” ujar Karina membawa kantong plastik. Keira, Kenzo, dan Kevin menjawab salam dengan serempak. Disusul dengan Andra yang memasuki rumah.
“Bunda banyak jajanan loh, ayo makan sama-sama!” tutur Karina memperlihatkan kantong belanjaannya.
“Ayo bun! Aku mau jajanan!” Keira kesenangan. Ia pun membantu sang ibunda untuk membawakan kantong plastiknya. Kevin dan Kenzo hanya mengobrol bersama ayahanda mereka. Tetapi siapa sangka, Andra lebih memilih untuk pamit kepada kedua putranya karena alasan pekerjaan yang belum selesai. Mereka berdua hanya merenungi sikap orang tua mereka. Sebenarnya Kevin dan Kenzo sudah mengenali sifat dan sikap orang tua mereka. Kurang peduli terhadap buah hatinya, lebih memilih pekerjaan daripada kebersamaan, dan hal lain yang dapat mereka rasakan seperti ‘diabaikan'. Keira belum mengetahui sepenuhnya tentang semua itu. Ia hanya tahu bahwa bunda dan ayahnya sibuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan bekerja. Dari pagi buta hingga bahkan larut malam Andra dan Karina pulang dari kantor. Keira hanya terus berdo'a kepada tuhan yang Mahakuasa agar ia kembali diberikan kesempatan untuk bersama setiap saat dengan keluarganya.
●●●
“Kei? Udah selesai?” lelaki itu bertanya pada adiknya. Ia berucap seraya sedikit berteriak, karena adiknya berada di lantai atas. Kali ini lelaki itu akan melaksanakan pengobatan untuk tumor yang berada di hatinya. Ia sedang menunggu orang tuanya dan adiknya untuk pergi ke rumah sakit. Mereka akan pergi ke rumah sakit mendampinginya menjalani Ablasi pertamanya.
Ablasi? Ya, itu adalah salah satu cara mengobati adanya tumor pada hati. Hari ini adalah hari pertama Ablasi yang dijalani oleh Kevin. Ia berjanji pada dokter akan datang di pagi hari. Dan Andra dan Karina akan mendampingi anak sulungnya itu. Kini Kenzo, dan Kevin berada di lantai bawah. Menunggu Keira dan orang tua mereka yang sedang bersiap-siap. Yang ditunggu pun datang. Keira menyusuri anak tangga dan disusul oleh Karina dan Andra yang berada di belakangnya.
“Ayo berangkat!” Andra berucap mengajak. Mereka yang duduk pun beranjak.
‘bip bip bip.. bip bip bip..’ Dering ponsel seseorang membuat mereka saling melirik satu sama lain. Ternyata itu adalah deringan ponsel Karina. Ia pun menjawab telepon itu.
Setelah menunggu sang bunda selesai menelepon, mereka semua memandang Karina. Menunggu penjelasan dibalik telepon tadi.
“Yah, gimana dong? Pagi ini Tasya minta buat kita urus meeting soal perusahaan kemarin,” Karina bertanya pada suaminya. Andra tampak melupakan hal itu. Memang kemarin hari, terdapat perusahaan yang tertarik pada perusahaan Andra untuk bekerja sama dalam bisnis. Dan pagi ini adalah jadwal meeting mereka sesama CEO perusahaan. Kini Andra memikirkan cara bagaimana meeting dan janjinya bertemu dengan dokter lancar.
“Gimana ya,” gumamnya ditengah-tengah ia berpikir. “Gini aja.. Kevin, maaf banget ayah sama bunda gak bisa nemenin kamu ke rumah sakit, meeting akan ayah urus pagi ini.. kalian bertiga langsung pergi ke rumah sakit ya, ayah sama bunda ke kantor.” Andra berucap. Kata-kata yang terlontar dari bibir Andra membuat Keira menyerngitkan alisnya.
“Kan kemarin bunda bilang bakal ikut?” Keira menatap Karina. Kini ia heran orang tuanya lebih memilih untuk bekerja daripada menemani kakak laki-lakinya untuk menjalani Ablasi untuk pertama kalinya. Keira berpikir bahwa sebagai CEO perusahaan, mengapa orang tuanya tidak meng-cancel meeting hari ini?. Ia bertanya-tanya di dalam hatinya.
“Kan gak enak sama temen ayah Kei, lagian kan kalian bisa pergi bertiga toh?” Andra menjawab putrinya. Keira hanya menuruti kata ayahandanya. Ia tak mengeluarkan kata sedikit pun setelah mendengar Andra berucap.
“Yaudah, ayah sama bunda pergi dulu ya.. kalian hati-hati,” lanjut Andra. “Assalamu’alaikum,” ucap Andra.
“Wa’alaikumussalam.” Kevin, Kenzo, dan Keira berucap serentak. Mereka hanya memulai perjalanan menuju rumah sakit. Pada saat di perjalanan, Keira memajukan bibirnya. Karena tak dapat pergi bersama orang tersayangnya. Orang tua tercinta.
“Kok lo cemberut mulu si Kei?” Kenzo bertanya setelah menoleh ke jok belakang, di mobil.
“Masa ayah sama bunda gak ikut? Padahal kan kemaren udah bilang bakal ikut.. kan gue males kali kalo begitu,” Keira melipat tangannya di dada. Ia sebal dengan perlakuan orang tuanya.
“Kei, sabar ya.. kan ayah sama bunda ngurusin kerja,” kali ini Kevin berucap.
“Dih? Tapi kalo urusan kerja kaga sampe segitunya kali bang!” Keira meninggikan suaranya. Ia hampir kehilangan kesabarannya. Kevin hanya diam menanggapi sentakan dari adiknya. Keira yang sadar telah berani meninggikan nada bicara langsung mengucapkan Istighfar. ‘Astaghfirullah, parah banget gue sampe kenceng gitu ngomongnya..’ batinnya.
“Maaf bang,” Keira berucap menyesal.
“Hm, iya gapapa.. abang juga pernah ada di fase kayak kamu gitu. Heran sama ayah dan bunda yang jarang banget duduk di rumah, yang sering banget mentingin kerjaan daripada anaknya. Abang tau itu mungkin salah, kamu bisa ingetin ayah dan bunda selagi ada waktu.” Kevin berucap dengan bijak.
“Inget kan? Allah maha membolak-balikkan hati, mungkin hati ayah sama bunda masih belum dibalikkan oleh Allah.. maka itu, kita harus sabar dan mengingatkan.” Lanjutnya. Anggukan dari Keira dan Kevin bertepatan dengan mobil yang Kevin kendarai sampai menuju gerbang rumah sakit dimana ia di diagnosa menderita kanker hati. Mereka pun turun dari mobil dan masuk ke dalam gedung bertingkat itu. Setelah melakukan administrasi, Kevin menemui dokter dan menjalani pengobatannya. Sedangkan kedua adiknya hanya menunggu hingga kakak mereka kembali keluar dari ruangan dokter.
●●●
“Jam pertama di kelas saya siapa ya Bu?” seorang wanita paruh baya memasuki sebuah ruangan. Ia adalah sosok wali kelas dari salah satu kelas perempuan di sekolah. Bu Rahma Sutji namanya. Beliau adalah wali kelas XI MIPA-4. Ia baru sampai di sekolah sedikit terlambat.
“Saya Bu,” wanita paruh baya yang berada semeja dengannya menyahut. Ia adalah Euis Larasati, guru matematika kelas XI. “Kalau begitu saya duluan, Assalamu’alaikum.” Euis berucap salam kepada seisi ruangan kantor. Ia pun berjalan menyusuri koridor kelas dan anak tangga untuk sampai di kelas yang ditujunya. Hari ini diadakannya ulangan harian untuk para muridnya. Setelah sampai di kelas, ia pun mengucap, “Assalamu’alaikum.”.
“Wa’alaikumussalam,” semua murid yang berkerudung menjawab salam dari guru mereka. Tentunya dengan bekal belajar dengan giat dan semangat untuk menempuh ulangan menyeramkan bertemakan matematika.
“Sudah pada belajar kan anak-anak?” wanita paruh baya itu bertanya kepada murid-muridnya.
“Sudah ibuu,” sebagian dari seisi kelas menjawab.
“Ibuu, saya takut!” ujar Hasna bergurau. Ia juga salah satu ahli matematika di kelas. Terdengar kekehan teman-temannya setelah itu. Hasna terkenal sebagai anak yang baik juga pandai disekolah.
“Halah takut-takut, palingan juga lo tadi malem belajar kan? Terus abis ini langsung tu nilai seratus.” Nanda menyahut ucapan Hasna. Nanda adalah teman yang duduk di sebelah Hasna. Seringkali mereka mempermasalahkan hal sepele seperti tadi. Bahkan Nanda juga sangat sering mengganggu Hasna ketika sedang belajar.
“Sudah-sudah.. ayo kita mulai saja ya ulangannya, silakan kalian membuat jarak di antara meja-meja kalian ya.. semua buku dan catatan silakan dikumpulkan ke depan, akan ibu periksa dan beri nilai.” Tutur Euis. Mereka pun langsung mengatur tempat duduk di kelas. Juga memasukkan semua hal yang berkaitan dengan matematika ke dalam tas.
Setelah berdo'a kepada tuhan yang Mahakuasa agar dimudahkan ulangan mereka, barulah ibu guru memberikan selembar kertas yang berisikan soalan yang mencekam itu. Mereka pun memulai ulangan itu dengan bacaan Basmalah.
Sunyi dan mencekam adalah keadaan saat ini. Dimana siswi kelas XI MIPA-4 sedang melaksanakan ulangan matematika. Mereka mengerjakan dengan cepat juga teliti. Namun tak semua dapat melakukannya dengan seperti itu. Dikarenakan rumus yang seringkali lupa maupun sulitnya menghitung dengan rumus yang merepotkan.
Keira dan Hasna yang sudah mempelajari dan melatih diri agar lancar mengerjakan, mereka tampak telah menyelesaikan ulangan. Dan sedang kembali mengecek jawaban pada selembar kertas itu.
“Ibu, kalau sudah selesai bagaimana?” seorang gadis yang duduk tepat di belakang Keira mengangkat tangannya. Dia adalah Nadia, si ahli Inggris dan juga tak kalah ahli matematika. Kini semua manik mata tertuju padanya karena terkejut dengan kebolehannya mengerjakan dengan cepat.
“Kamu sudah selesai nak?” Euis bertanya kembali. Dan dijawab dengan anggukan dari Nadia. “Baiklah, yang sudah selesai silakan kumpulkan ke ibu dan boleh keluar kelas.. tidak ke kantin ya,” lanjutnya. Nadia pun beranjak dari tempatnya. Disusul oleh Keira, Hasna, Marsya dan beberapa anak yang lainnya untuk mengumpulkan jawaban mereka.
“Eh Has, lo nomor 25 ape?” Marsya bertanya pada Hasna. Sekarang mereka berada di koridor depan kelas, yang terdapat pagar menampakkan lapangan bawah.
“Gue A, lo apa Mar?” Hasna kembali bertanya. Menurutnya jawaban yang ia bilang tadi benar dan sependapat dengan Marsya.
“Mantap! gue sama kayak lo,” Marsya berucap senang. Karena jawabannya dapat menyamai dengan punya Hasna. Keira yang baru keluar dari kelas menatap temannya itu.
“Sumpah woi, gue takut salah..” ucap Keira saat berada ditengah-tengah temannya.
“Halah, lo bilang takut-takut salah pasti nanti punya lo yang seratus..” Hasna berucap seraya terkekeh kecil.
“Iih, aamiin.. tapi gue ragu tadi pas jawab nomor 25, susah tau.” Keira memberikan pendapatnya. “Kalian apa nomor 25?” tanyanya lagi.
“A.” Marsya dan Hasna berucap serentak. Keira yang tidak sependapat dengan mereka langsung terkejut tak menyangka.
“Gue D coba?, huwah, takut salaah..” ia merutuki dirinya sendiri.
“Kok bisa D Kei? Dari mana emang?” Hasna bertanya pada Keira. Marsya dan dirinya tampak heran dengan jawaban Keira. Keira menjelaskan rumus demi rumus serta jawaban yang didapat ketika mengulang soalan nomor 25 itu. Marsya dan Hasna manggut-manggut mendengar penjelasannya. Namun tak dapat mengoreksi mana yang benar dan mana yang salah.
“Udah lah, liat aja nanti.. kan yang lebih ngerti Bu Euis.” Marsya berucap santai. Mereka hanya menunggu hingga satu persatu seisi kelas menghampiri koridor. Dari Nadia, Afin, Caca dan yang lainnya menyusul mereka ke dekat pagar itu. Menggelar canda tawa juga tanya jawab soal ulangan yang baru dilaksanakan.
Setelah cukup lama menunggu, barulah Euis kembali mempersilakan anak muridnya untuk memasuki kelas. Karena semua siswi yang telah selesai mengerjakan ulangan, juga bertepatan dengan waktu yang menunjukkan saat istirahat telah tiba.
“Ibu, ada yang seratus gak Bu?” kali ini Jihan mengancungkan tangan kanannya.
“Alhamdulillah ada yang nilainya perfect !, tapi kok menurun ya? Kemarin-kemarin kayaknya ada lebih dari 3 orang.. tetapi kali ini hanya 1 orang. Dan selisih nilai dengan peringkat keduanya hanya 0,8 loh.” Euis berucap membuat murid-muridnya ternganga.
“Waw! Miris banget itu bu!” sahut Nanda terkejut.
“Kasih tau atuh ibu, siapa yang dapat nilai perfect?” Caca penasaran.
“Oke, ibu akan memberi tahu siapa yang mendapat nilai sempurna. Namanya adalah.. Keira Jovanca!” Euis berucap semangat. Keira yang mendengarnya langsung menangkup kedua tangannya malu-malu. Ia tak henti berucap syukur di dalam hatinya. Juga tepuk tangan dan sorakan selamat yang bergemuruh.
“Selamat ya lo Kei, bahagia juga gue.” Afin berucap menepuk pundak Keiza.
“Makasih Fin,” tutur Keira ditengah kesenangannya.
“Ibu akan kasih tau yang nilainya nyaris banget..” kini perhatian mereka kembali ke depan.
“Hasna Afifah yang nilainya 99,2.” Hasna tercengang mendengar nilainya disebutkan.
“Nomor berapa yang saya salah ibu?” tanyanya.
“Nomor 25.. juga ada Marsya Putri yang nilainya 98, kalian sepertinya kurang teliti pada nomor 25 ya, masih banyak yang salah di nomor itu. Baiklah anak-anak, karena waktu telah habis.. akan ibu cukupkan pelajaran hari ini, semoga kalian meningkatkan belajar dan telitinya ya anak-anak.. Wassalamu’alaikum,” Euis menutup pertemuan.
“Wa’alaikumussalam ibu, makasih ibuu!” kebanyakan siswi berucap serentak. Juga menyalami punggung tangan Euis secara bergantian. Sudah waktunya untuk menikmati makanan yang dibeli di kantin, pikiran itu menghantui semua yang berada di dalam kelas.
Kriing.. Kriing..
Bel istirahat telah berbunyi. Penanda itu membuat hati para siswa maupun siswi bergejolak senang.
“Ayo ke kantin woi! Nanti keburu Ikhwan yang masuk!” Afin mengajak teman-temannya.
“Kuy!” Keira menjawab. Mereka pun keluar kelas dan berlari menuju kantin. Dan sangat tepat, Ikhwan atau para siswa belum memasuki kantin. Mereka hanya berbelanja juga menikmati makanan seusainya. Dan juga bercengkerama bersama seisi kelas. Tak hanya gelak tawa yang terdengar, tapi juga pembahasan soal matematika tadi juga mengiringi obrolan mereka.
“Assalamu’alaikum kawan-kawan koh!” seorang gadis memasuki kelas mereka dengan semangat membara, juga mengejutkan seisi kelas XI MIPA-4.
“Wa’alaikumussalam,” jawaban serempak. Dia adalah Kiya, salah satu siswi kelas XI MIPA-3.
“Napa si Ki? Ngagetin aja kerjaan lo!” ujar Tania yang cukup terkejut dengan kedatangan Kiya.
“Ya maap bos, gue seneng nih..” gumamnya seraya mendekati meja gerombolan Keira, Afin dan yang lainnya.
“Eh kalian tau gak? Ada pengumuman baru tuh di mading,” Kiya berucap di hadapan Afin yang sedang mengunyah coklat.
“Tentang apa?” Caca bertanya.
“Kalian tadi pagi baru ulangan matem yak? Nah, tadi gue liat di mading kalau udah ada siswi ama siswa yang terseleksi masuk Olimpiade lewat ulangan.” Kiya menjelaskan.
“Wadaw! Sape aja tu?” kali ini mata Afin terbelalak.
“Nih gue kasih tau.. yang Ikhwan si Haikal, kalo Akhwat lo Kei!” Kiya berujar seraya mengarahkan wajahnya ke arah Keira. Keira yang sedang menegak air mineralnya langsung terbatuk.
“Astaghfirullah,” ucapnya seusai batuk. “Yang bener lo Ki?” lanjutnya tak menyangka.
“Ya bener lah, masa gue bohong..” jawab Kiya singkat. “Selamat ya Kei, jangan lupa ajarin gue ya?” Kiya terkekeh.
“Ya Ki, makasih.” Keira masih tak menyangka dengan perkataan temannya itu. Ia sangat senang dapat mengikuti tanpa serangkaian seleksi lagi. Yaitu lolos dengan hanya melewati ulangan harian. Afin, Marsya, Caca pun memberi selamat kepada guru mereka. Teman yang selalu mengajarkan ilmunya ketika mereka tidak tahu menahu tentang ilmu itu.
●●●
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar