2. Diagnosis
2. Diagnosis
Sudah satu hingga dua pekan terlewati dengan cepat. Sebuah keluarga masih tetap pada posisi yang sama, yaitu baik-baik saja. Semua masih seperti awal kedatangan Karina dan Andra. Tetap hangat, mengurus kehidupan anak mereka setiap hari. Juga dengan keadaan putra sulung mereka yang kian hari kian membaik.
“Ayah, bunda, kita berangkat ya.” Kevin berucap menyalami punggung tangan orang tuanya. Diikuti dengan Kenzo dan Keira yang mengecup punggung tangan Karina juga Andra.
“Hati-hati ya nak, bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut,” Karina berucap mengingatkan Kevin.
“Tenang aja bun.. pergi ya yah, bun, assalamu’alaikum.” Kevin memberi salam.
“Wa'alaikumussalam.” Karina dan Andra menjawab salam. Kevin pun mengantarkan kedua adiknya ke sekolah.
Setelah sampai di sekolah, seperti biasa Kevin memberi pesan kepada Kenzo dan Keira, “baik-baik di sekolah, rajin belajarnya.” Ucapnya.
“Abang juga!, jangan makan yang aneh-aneh. Nanti malah kek kemaren-kemaren,” kali ini Keira memberi pesan sebelum turun dari mobil. Kevin hanya tersenyum manis dan mengangguk paham.
“Assalamu’alaikum mantemaaan!” Keira berucap salam, lalu memasuki kelas.
“Wa’alaikumussalam.” Teman-temannya menjawab salam. Ia kembali menduduki bangku yang berada di dekat meja guru. Begitu meletakkan tas ranselnya, Keira melirik bangku yang berada di sebelahnya.
‘Kok Marsya belom dateng yak, perasaan dia yang paling cepet kalo soal ke sekolah.’ Batin Keira bingung.
“Assalamu’alaikum gaise!” seseorang mengejutkan seisi kelas. Yap, dia adalah Marsya dengan segala tingkah lakunya yang ceria.
“Wa’alaikumussalam.. elah Mar, jangan ngagetin napa?” Ucap Jihan, salah satu siswi kelas XI MIPA-4. Memang kedatangan Marsya dengan sedikit terengah-engah juga membuat mereka menjadi heran.
“Hehe, sorry ya woy.” Marsya berucap seraya terkekeh kecil. “Tadi gue liat poster baru dong di mading!” lanjutnya semangat.
“Poster apaan emangnya?” kali ini Afin yang bertanya.
“Poster Olim woy, kalian pada ikut kaga?” Marsya berucap antusias.
“Olim?, Olim teh naon?” Caca yang merupakan orang asli Bandung bertanya.
“Olimpiade, Ca.” Keira menyahut dari bangkunya. Caca yang mendengarnya hanya membentuk ‘O' bulat pada bibirnya. “Cabang apa aja?” lanjut Keira santai.
“Ada inggris, matematika, fisika, biologi, kimia, pengetahuan sosial, sama Ppkn.” Marsya mengurutkan mata pelajaran yang diadakan Olimpiade.
“Ada seleksi kan?, kapan dah?” Tanya Keira.
“Masih seminggu lagi sih seleksinya.. kalian ikut?” Marsya berucap pada teman-temannya.
“Entah,” Afin menjawab.
“Iya eh, males kalo ikut juga.” Kali ini Caca berpendapat.
“Keknya ikut deh, lo mau ikut juga kan Mar?” pandangan Marsya beralih kepada Keira yang ingin ikut dan mengajaknya.
“Hm, kuylah!” Marsya menerima tawaran Keira. Mereka hanya mengobrol ringan sebelum bel masuk kelas berbunyi. Tak lama kemudian, bel itu berdering nyaring. Membuat seisi kelas langsung menyiapkan alat tulis mereka dan juga diri untuk belajar. Sekolah memang mengajarkan kedisiplinan saat menuntut ilmu. Juga mengajarkan bahwa adab ketika menuntut ilmu itu haruslah diterapkan.
“Assalamu’alaikum anak-anak.” Seorang wanita yang menggunakan gamis bercorak batik dan memakai kerudung dengan warna senada memasuki kelas. Ia adalah Bu Mutia, Guru Fisika kelas XI. Bukan hanya seorang guru, ia juga salah satu wali murid seorang gadis yang bernama Nida di kelas ini. Mereka pun memulai pelajaran dengan khidmat.
●●●
“Abang udah shalat?” tanya gadis itu kepada kakaknya. Gadis itu sedang menonton televisi di ruang tamu.
“Ini baru mau, abang panggil Kenzo dulu.” Kevin menjawab. Ia pun pergi ke lantai atas rumahnya untuk mengajak adiknya untuk melaksanakan shalat berjamaah. sedangkan Keira tetap berada di ruang tamu menunggu Karina dan Andra pulang kerja. Karena ia sedang tidak melaksanakan kewajiban shalatnya.
Tak lama kemudian, derap langkah kaki terdengar ingin menuju ke lantai bawah. Keira yang mendengarnya hanya menoleh melihat siapa yang turun.
“Lah, abang belom shalat?” Tanya Keira kepada Kenzo. “Bang Kev mana?” tanyanya lagi.
“Tadi pas bang Kev ngajak gue shalat, gue lagi mandi. Yaudah katanya bang Kev shalat dikamarnya.” Kenzo menjelaskan yang terjadi. “Gue baru mau shalat disini.” Lanjutnya menunjuk arah mushala yang terletak tak jauh dari tangga. Keira hanya ber-oh ria mendengarnya.
Drtt.. Drtt..
Ponsel Keira bergetar. Saat mengambil ponsel yang terletak di meja, ia melihat tulisan ‘Bunda' yang menelefonnya. Ia pun segera menjawab telefon itu.
“Halo, assalamu’alaikum bunda.”
“Wa’alaikumussalam Kei,”
“Ada apa bun?” tanya Keira.
“Ini nak, kayaknya bunda sama ayah bakal pulang lebih lama. Karena ayah mau ke proyek dulu katanya..” Karina berucap.
“Oh gitu bun.. Yaudah gapapa, bunda hati-hati ya..” tutur Keira.
“Okelah sayang, kamu juga baik-baik ya sama abang.” Karina membalas putrinya. “Yaudah, bunda tutup telefonnya ya.. assalamu’alaikum,” lanjutnya.
“Wa’alaikumussalam bunda.” Keira menjawab. Ia pun kembali menonton acara televisi favoritnya.
“Kei, gue ke atas.” Kenzo berucap pada adiknya. Keira hanya mengangguk mendengarnya.
Keira yang seorang diri di lantai bawah, membuatnya berpikir hal yang tidak-tidak. Ia mencoba untuk memikirkan Olimpiade yang akan diadakan di sekolah. Bahkan bukan sekolahnya, melainkan SMAN Satu kota Jakarta. Sekolah favorit di ibu kota.
‘Pokoknya gue harus bisa lewati seleksi minggu depan. Gue mau ikut Olim matem, dan gue harus banggain bunda ama ayah.’ Batin Keira mengingat Olimpiade yang akan menyeleksi peserta pekan depan. Ia pun mematikan televisi dan pergi ke lantai atas untuk mempelajari materi matematika.
●●●
“Bang Kev!” lelaki itu mengetuk pintu kamar kakaknya. Ia sudah mengenakan pakaian koko putih dan sarung berwarna hijau bercorak garis-garis. Kenzo akan mengajak Kevin untuk shalat ke masjid yang tak jauh dari rumahnya.
Tak ada jawaban meski Kenzo sudah meneriakkan nama Kevin berkali-kali. Padahal Kevin tergolong tipe orang yang cepat sekali bangun tidur ketika orang memanggil namanya.
“Perasaan bang Kev kaga pernah tidur sore,” gumam Kenzo yang masih setia berdiri di depan pintu kamar Kevin.
“Kenapa bang?” Keira membuka pintu kamarnya dan memunculkan wajahnya. Ia cukup terganggu dengan Kenzo yang terus-menerus memanggil nama Kevin.
“Masa bang Kev kaga denger gue si?” Kenzo menatap wajah Keira. “dari tadi gue panggil-panggil kaga nyahut, gue ketok-ketok ni pintu juga kaga denger masa, dan bang Kevin juga ga bakal tidur sore Kei.” Lanjutnya heran.
“Iya juga yak.” Keira tampak sedang berpikir. “Masuk aja kali bang.” Lanjutnya.
“Oke, gue masuk.” Ia menggerakkan gagang pintu dan alhasil terbuka lah pintu kamar Kevin. Kenzo hanya mendecak sebal saat menemukan Kevin yang membentangkan tangannya dan sedang tertidur di kasur miliknya. Keira yang penasaran ikut melihat kakak sulungnya itu.
“Bang!, bangun lo!, udah maghrib ini.. bentar lagi azan.” Kenzo mengguncang tubuh milik Kevin. Tak ada respon yang diberikan oleh Kevin. Ia hanya terus diam tanpa mengidahkan tubuhnya yang diguncang-guncang oleh adiknya itu.
“Bang, abang?” Kenzo memanggil kakaknya. Keira yang memerhatikan Kevin yang diam saja menjadi sangat heran, bahkan menjadi khawatir. Ia pun ikut masuk ke dalam kamar Kevin.
“Bang, abang?” Kenzo memanggil kembali kakaknya, kali ini dengan pukulan pelan pada pipi Kevin. Kenzo mulai memeriksa bagian pergelangan tangan milik Kevin.
“Abang, bang Kev kenapa?” Tanya Keira yang mulai panik dengan keadaan Kevin yang tak bergerak di kasurnya. Detak nadi yang berada pada pergelangan tangan kiri Kevin masih terasa. Tanpa pikir panjang, Kenzo mengambil ponsel milik Kevin yang terletak di nakas. Ia mencoba untuk menelefon seseorang.
“Halo, ambulance?, bisa tolong saya?” ya, Kenzo menghubungi ambulance. Keira yang mendengar kakaknya menghubungi pihak rumah sakit langsung panik seraya menatap wajah kakak tersayangnya.
‘Ya allah, abang kenapa?.. jangan sampe hal buruk terjadi ke abang ya allah, lindungin abang tersayang Keira..’ batin Keira.
“Dek, bantuin gue bawa abang ke bawah, bisa kan lo?” tanya Kenzo pada Keira. Yang ditanya hanya mengangguk dan mengalungkan tangan kiri Kevin ke atas pundaknya. Keira dan Kenzo membawa tubuh rapuh Kevin ke lantai bawah. Setiba ambulance datang, pihak rumah sakit yang langsung membopong tubuhnya dengan menggunakan tandu. Kemudian mereka ikut didalam mobil ambulance. Saat di perjalanan, ia terus-menerus mengucap asma allah. Dan tak terasa, kristal bening membasahi pipinya. Mengingat bahwa tak ada yang tahu kapan kematian menjemput. Juga mengingat bahwa masih sangat banyak kesalahan yang ia perbuat selama hidup di dunia ini. Kenzo yang melihat gadisnya menangis tanpa suara hanya tersenyum dan memeluknya dari damping.
“Terus do'a ke allah supaya abang gapapa ya Kei,” ucap Kenzo lembut kepada adiknya. Keira yang tak dapat menahan air matanya hanya mengangguk menyandarkan tubuhnya pada pundak Kenzo.
Setibanya mereka di rumah sakit, Kevin langsung dibawa ke Unit Gawat Darurat. Keira hanya menunggu sampai dokter yang menangani kakaknya keluar ruangan. Sedangkan Kenzo akan menuju ke mushala milik rumah sakit, melaksanakan shalat maghrib yang sempat tertunda. Di dalam hatinya, ia terus-menerus berzikir. Tak lupa untuk selalu mengingat allah dan berdo'a kepada-Nya. Tak lama kemudian, Kenzo menghampirinya. Dan merangkul pundaknya, memberi ketenangan pada adik perempuannya.
“Abang udah telefon ayah?” tanya Keira di tengah-tengah tangisnya yang mulai reda.
“Ini baru mau gue telefon,” ucapnya seraya memainkan ibu jari di atas benda pipih itu.
“Halo, ayah?” Kenzo berucap saat panggilan itu tersambung.
“Iya nak, ada apa?” dari seberang sana, Andra menjawab putranya.
“Yah, tadi abang pingsan di kamar.. terus karena bener-bener kaga bisa bangun, aku bawa abang ke rumah sakit yah.” Jelas Kenzo.
“Astaghfirullah, emangnya kenapa Kevin?, sekarang kamu dimana posisinya?” Andra berucap terkejut dengan penjelasan Kenzo.
“Sekarang aku sama Keira di rumah sakit Awal Bros yah, ayah ama bunda kesini ya.” Ucapnya.
“Oke, setelah urusan ayah selesai, ayah akan langsung kesana. Nak, ayah tutup dulu telefonnya, assalamu’alaikum” Andra tampak terburu-buru.
“Wa’alaikumussalam,” Kenzo menjawab salam. Karena merasa ayahnya sangat sibuk, Kenzo sempat sedikit heran ketika mendengar ayahnya berucap ‘setelah urusan ayah selesai' pada pembicaraan tadi. ‘sesibuk itukah ayah? sampai-sampai urusan abang yang masuk rumah sakit aja ditunda? Ga masuk akal banget.’ batin Kenzo bertanya-tanya.
“Apa kata ayah bang?” Tanya Keira. Karena tak ingin membuat hati adiknya semakin patah, ia tak sepenuhnya menjawab benar.
“Kata ayah, ayah sama bunda jalan ke sini,” ucap Kenzo. Tak lama kemudian, seorang pria yang menggunakan jas dokter berjalan mendekati kakak beradik itu. Kenzo pun berdiri ketika dokter itu menatap mereka berdua. Diikuti dengan Keira yang juga berdiri di hadapan pria berjas dokter itu.
“Wali pasien?” Tanya pria itu.
“Iya dok, kita adiknya. Bagaimana keadaan kakak saya?” Kenzo bertanya pada dokter.
“Baiklah, mari ikut saya dahulu.” Dokter itu menggiring Kenzo dan Keira ke ruangannya. Setelah berada di ruangan dokter, mereka pun menduduki bangku yang berada di depan meja dokter.
“Apakah akhir-akhir ini kakaknya sering mual dan muntah?” tanya dokter kepada mereka.
“Pernah dok, tapi beberapa kali, gak terlalu sering.” Keira berucap dengan pengetahuannya.
“Baiklah, dan apakah ayahnya pernah menderita kanker hati?” Tanya dokter lagi.
“Hmm, setahu saya pernah pada waktu muda. Dan berhasil sembuh,” kali ini Kenzo menjawab.
“Dengan berat hati saya mengatakan, kakak kalian menderita penyakit yang sama dengan ayahnya, yaitu kanker hati. Dan dia sekarang berada pada stadium B atau 2. Banyak yang menyebabkan terjadinya kanker hati, dan salah satunya keturunan. Tumor pada hatinya masih sedikit kecil, bahkan jarang membuat gejala pada penderitanya. Mungkin karena tubuh kakak kalian dalam kondisi kurang Vit, sehingga dapat membuatnya sampai gak sadar.” Dokter itu menjelaskan. Kenzo dan Keira sangat terkejut bukan main mendengar tiap kata-kata yang terlontar dari bibir sang dokter.
“Astaghfirullah,” Keira menutup mulutnya tak percaya. Kenzo mengusap-usap punggung adiknya, mencoba untuk menenangkannya. Kenzo tahu bahwa Keira sangat menyayangi kakak pertamanya. Ia tahu bahwa saat ini hati Keira sedang hancur berkeping-keping. Sampai akhirnya dokter memberi tahu cara demi cara pengobatan. Kenzo hanya mendengarkan dan terus menenangkan adiknya yang tangisnya kian menderas. Tak lama kemudian, orang tua mereka menghubungi Kenzo dan menuju ruangan dokter. Sampai disana, Karina dan Andra tak kalah terkejut dengan kondisi putra sulung mereka. Kevin akan menjalani pengobatan pada hari-hari setelah ini. Kevin diperbolehkan untuk pulang dan bersama keluarganya.
Mereka pun pulang ke rumah dengan menggunakan mobil milik Andra. Kevin yang mengetahui bahwa dirinya menderita penyakit serupa dengan ayahnya hanya menerima takdirnya. Ia tak mengetahui bahwa akan seperti ini, yang Kevin tahu bahwa ia sedang tidak Vit dan menderita penyakit ringan. Ia hanya pasrah dengan segala takdir yang ditentukan oleh tuhan yang Mahakuasa. Tak akan ada yang dapat ia lakukan selain pasrah dan berserah kepada Allah S.W.T.
Sesampainya di rumah, Keira hanya menduduki bangku taman di belakang rumahnya. Ia merenungi apa yang sedang dialami kakaknya. Ia juga merenungi apa saja amalannya saat di dunia. Akankah amalannya akan diterima disisi Allah yang Maha besar? Akankah ia masih lebih lama untuk tinggal di bumi-Nya? Akankah masih lebih lama ia diizinkan untuk berbuat amalan baik?. Keira merenungi itu semua di dalam hatinya.
“Ngapain disini?” Seseorang datang dari arah belakang Keira. Ia sedikit terkejut dan langsung menoleh. Dia adalah Kevin. Yang tak ingin melihat adik tersayangnya terlarut dalam sedih. Ia juga tahu bahwa Keira sangat menyayanginya. begitu juga dengan dirinya sangat menyayangi adik perempuannya itu.
“Emang aku ga boleh duduk disini?” Tanya Keira kembali.
“Hm, kan ga bagus kalo kamu malem-malem di luar sini, apalagi kamu sendirian. pasti banyak setan yang suka sama aura malam dan cewe yang sendirian” ucap Kevin menakut-nakuti.
“Aku Cuma duduk bang, lagian bentar lagi mau masuk, kan mau tidur.” Keira berucap seraya bangkit dari tempat duduknya. Ia pun berjalan ke arah pintu belakang rumahnya. Ketika hendak melangkahkan kakinya, Kevin menghalangi langkah Keira. “Apa bang?” Tanya Keira.
“Inget ya Kei, kalau nanti Allah sayang sama abang dan abang diambil duluan, maka jangan pernah kamu sedih sampe berhari-hari, sampe ga makan dan sebagainya. Dan ingat, selalu jaga amanah kamu untuk dakwahin semua orang yang belum setara sama syari'at yang allah kasih, kayak bunda yang belum pake gamis, ayah yang kadang-kadang masih ninggalin shalat, dan masih banyak lagi orang di luar sana yang butuh orang kayak kamu.” Kevin berucap pada adik kecilnya. Tanpa disadari, sedari tadi Keira membendung air mata di pelupuknya. Dan sekarang, bendungan itu telah hancur karena ia tak dapat menahan kesedihannya. Air yang bak kristal itu lolos membasahi pipinya.
“Abang kenapa ngomong gitu si?, kenapa malah buat aku tambah sedih?” tangis Keira terpecah. Kevin hanya merentangkan tangannya dan maju selangkah untuk memeluk adiknya itu.
“Abang Cuma mau ingetin Kei, supaya Kei selalu ingat sama Allah, selalu ingat kalau kematian itu gak ada yang tahu, juga biar Kei bisa selalu semangat walau nanti abang gak bisa nemenin disini.” Kevin mengusap punggung adiknya itu.
“Kei sayang abang, abang jangan pergi cepet-cepet." Keira berucap di tengah tangisnya.
“Insha allah, kalau allah izinin abang buat tinggal lebih lama. Abang juga sayang sama Kei..” Kevin berucap seraya tersenyum. Setelah itu, mereka pun memasuki rumah dan kembali ke kamar masing-masing. Kevin yang langsung melaksanakan ibadah shalat isya dan Keira yang mengambil wudhu sebelum tidurnya. Mereka berdo’a kepada Allah, semoga setiap amalan yang mereka kerjakan akan mendapat balasan berupa pahala, juga semoga Allah selalu melindungi keluarga mereka. Banyak hal yang kita ketahui hanya sepele, seperti mengingat mati ataupun berdakwah sesama saudara. Tetapi hal itu sama sekali tidak sepele dan bahkan akan dimintai pertanggung jawaban.
●●●
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar