1 (Intro): What goes Underground?
1 (Intro): What Goes Underground?
Seorang pemuda sedang dalam perjalanan menuju rumahnya malam ini setelah menyelesaikan pekerjaan menumpuk yang membuatnya harus mengambil jam lembur. Menjadi lulusan magang membuat tenaganya sering terkuras habis. Ulang tahunnya yang ke dua puluh bahkan baru berakhir dua hari lalu. Ia mengarahkan pandangan ke arloji yang berada di pergelangan tangan kirinya. Pukul sebelas malam. Ah, sial. Aku harus melewati jalan pintas, pikirnya.
Jika biasanya ia akan mengambil jalan lurus menuju perempatan satelah berjalan 100 meter dari halte, maka malam ini ia memutuskan untuk berbelok ke kiri. Lebih gelap, lebih seram, tetapi lebih cepat bila ingin menuju kompleks perumahan yang ditempatinya. Jalan itu sempit dan nyaris tidak ada cahaya masuk sama sekali. Sesekali lampu kendaraan yang lewat di jalan raya utama memantul dan menerangi celah gang kecil itu.
Sejenak, ia urung untuk mengambil jalan pintas. Teringat cerita orang-orang tentang rumah kosong di ujung gang sana. Hei! Tidak ada makhluk bernama ‘hantu’ di bumi ini. Don’t be a coward, myself! Dihempaskannya pikiran-pikiran negatif yang berseliweran di kepalanya tentang rumah kosong itu.
Pun, ia memantapkan langkah melewati gang sempit. Dengan berbekal penerangan dari ponselnya yang nyaris habis baterai, ia mendekap tas kerjanya erat-erat. Makhluk-makhluk seperti perampok, begal, atau pembunuh lebih menakutkan baginya dari pada bertemu dengan hantu. Berulang kali ia terlonjak kaget ketika mendengar suara kucing berkelahi di sekitaran gang. Berulang kali pula ia menyumpahi dirinya sendiri karena menjadi seorang penakut.
Tak terasa, rumah kosong penuh isu itu kini berada tepat di depannya. Ia hanya perlu berjalan menuju pagar samping rumah itu, lalu melewati jalan setapak kecil di kebun liar di belakangnya, lalu setelah itu ia akan segera sampai di kompleks perumahannya. Beres! Ia tidak perlu melewati jalan menyeramkan itu lagi untuk seterusnya.
Dekapannya pada tas kerja kian mengerat. Jemarinya semakin kuat menggenggam ponsel di tangan. Telinganya dapat mendengar beberapa suara ribut—yang sepertinya diusahakan supaya tidak terdengar siapapun—dari dalam rumah itu. Rumah itu seharusnya kosong. Lalu kenapa ada orang di dalamnya?
Rasa penasarannya membuncah menenggelamkan ketakutannya. Melupakan fakta bahwa tengah malam hampir tiba dan ia harus segera sampai rumah, dengan nekat ia mendekati kaca jendela yang sudah pecah separuh di bagian samping rumah itu. Seketika mempertanyakan keputusan bodohnya setelah melihat ke dalam.
Ada sekitar lima orang pria di dalam. Tiga bertubuh kekar dan botak, satu yang paling tampan berpenampilan rapi dengan kemeja, dan satu lagi yang paling kurus sedang berlutut di depan si pria rapi. Ia menanti apa yang akan terjadi selanjutnya.
BRUGH!
Lututnya melemas ketika melihat si pria rapi menendang bahu pria kurus tadi hingga membuatnya terkapar di lantai berdebu. Apa itu tadi?
Baiklah, sekarang ia harus segera meninggalkan tempat ini tanpa suara. Tapi otaknya kembali berhenti bekerja saat melihat tiga pria kekar dan botak tadi menarik rambut si kurus dan menghadapkan wajahnya ke si pria rapi. Ah, ia baru menyadari banyaknya memar dan darah di wajah si kurus. Apa salahnya hingga perlu disiksa dan dipukuli seperti itu? Ia kembali melihat ke dalam, lalu bergidik ngeri ketika si pria rapi mencengkeram leher si kurus cukup kuat. Tanpa sadar ia meringis ngilu dan mengusap lehernya sendiri saat menyaksikan si kurus memberontak minta dilepaskan. Ketika si kurus tak lagi meronta dan tubuhnya perlahan terkulai, si pria rapi melepaskan cengkeramannya. Samar-samar, ia dapat mendengar percakapan empat orang di dalam.
“Bos?” salah satu dari tiga pria botak itu bertanya.
“Selesai.” Satu kata bernada dingin yang keluar dari si pria rapi itu membuatnya semakin menggigil takut. Ingin sekali ia berlari pergi menjauh dari sini, tapi sepertinya otak dan tubuhnya sedang tidak sinkron.
“Bereskan. Pastikan tidak ada yang mengetahui bahwa dia selesai di rumah ini,” lanjut si pria rapi itu. Tapi aku sudah tahu, dan aku bingung akan melaporkan kalian ke polisi atau tidak.
PRAK!
Sial beribu sial, kaca tipis tempat ia menopang lengannya tidak cukup kuat dan retak. Perhatian keempat orang itu kini beralih ke jendela tempatnya mengintip. Secepat kilat, ia memerosotkan tubuhnya hingga tersembunyi di bawah teralis jendela.
“Siapa di sana?” suara dingin itu semakin menggetarkan badannya. Ia membekap erat mulutnya dengan tangannya sendiri, berusaha tidak mengeluarkan suara sedikitpun.
“Keluar kau, penguntit. Jangan bersembunyi karena aku bisa saja menghabisimu di sini.” Suara si pria rapi kembali terdengar. Membuat bekapannya di mulut semakin menguat.
“Ck. Kalian, kejar orang itu!” perintahnya pada tiga pria botak yang menjadi bawahannya.
“Baik, bos.”
Detik selanjutnya, ketika ia mendengar langkah kaki tiga pria itu menuju ke arahnya, ia mulai berlari. Persetan dengan ponselnya yang terjatuh, ia bahkan tidak menyadarinya. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah berlari sejauh dan sekencang mungkin, atau mencari tempat sembunyi.
Beberapa kali ia tersandung oleh tanah basah yang menempel di sepatunya dan membuat langkahnya semakin berat. Ia sempat berpikir untuk menyerahkan diri saja kepada orang yang sekilas tampak seperti bos mafia itu. Tapi, seketika bayangan tentang biaya sewa rumah dan kebutuhan hidup berkelebat di benaknya. Jika ia mati, maka ia akan mati dengan membawa banyak sekali hutang. Pemikiran yang menurutnya lebih mengerikan itu membuatnya bergidik merinding.
Ia mempercepat larinya dan berbelok ke halaman belakang rumah kosong itu. Tiga pria botak masih mengejarnya. Sudut matanya menangkap tumpukan material di halaman belakang. Tanpa pikir panjang, ia melompat masuk ke salah satu buis beton di antara tumpukan material itu dan menggeser sebuah papan kayu untuk menutupinya. Untungnya, buis beton itu cukup dalam. Sehingga setidaknya dengan meringkuk, tubuhnya tidak terlihat dari luar.
Tiga pria botak yang mengejarnya semakin mendekat. Mereka mengecek setiap gazebo, menyibak setiap semak dan mengobrak-abrik tumpukan material. Deretan kata penuh doa keluar dari mulutnya yang kini pucat karena ketakutan yang luar biasa. Ia memeluk lututnya semakin erat dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua lutut. Derap langkah tiga pengejarnya itu berhenti tepat di depan dua buis di depannya.
“Ah, sial! Kemana pria itu pergi?” tanya salah satu pria botak kepada temannya.
“Tidak, bukan pergi. Dia pasti bersembunyi,” jawab pria botak yang berdiri paling dekat dengan tumpukan buis. Terima kasih kepada tempat yang gelap, sehingga tiga pria botak itu tidak dapat melihat rambutnya yang sedikit mencuat ke atas.
“Sudah, kita cari saja, lah. Paling tidak ia masih di sekitar tempat ini.”
Mereka kini mencari di antara tumpukan buis dan mengangkat papan-papan kayu yang menutupinya.
Ketakutan yang sangat hebat merayapi tubuh letihnya. Ia memejamkan matanya erat, jantungnya berdegup kencang hingga membuat dadanya terasa nyeri. Oh, Tuhan, aku tidak siap mati...
Kayu penutup di atasnya nyaris terbuka jika saja ponsel salah satu pria botak tidak berbunyi.
“Ya, bos?”
“...”
“Tapi pria itu belum kami temukan, bos.”
“...”
“Bos yakin? Bagaimana jika dia membocorkan rahasia kita?”
“...”
“Ah? Bos besar yang memerintahkan? Baik, kami segera kembali, bos.” Lalu sambungan telepon ditutup. Melalui celah kecil pada kayu, ia bisa melihat si pria botak menepuk pundak kedua temannya.
“Ayo kembali. Bos sudah menelepon,” katanya.
Temannya mengernyit, “Kembali? Kembali dan melepaskan pengintip yang sedang bersembunyi itu?”
Pria botak yang ditelepon oleh si ‘bos’ mengendikkan bahu. “Entah, bos bilang ada panggilan dari bos besar.”
Si botak yang dari tadi diam mebelalakkan mata, “Kalau begitu kita harus bergegas. Bos besar sangat tidak menyukai orang yang tidak disiplin. Ayo!”
Ketiga pria botak itu telah pergi, derap langkah berat mereka terkesan buru-buru. Ia melongokkan sedikit kepalanya keluar. Setelah memastikan keadaan sudah cukup aman, ia bangkit keluar. Menepuk belakang celananya yang ditempeli sedikit tanah lembab dan lumut. Ia menghela napas panjang, lalu mengambil tasnya dan meloncat keluar.
“Terima kasih, Tuhan, Kau masih memberiku hidup. Aku tahu aku adalah seorang pendosa,” ujarnya dramatis. Ia segera meneruskan perjalanan pulang masih dengan jantung yang berdegup kencang.
Tiga menit kemudian, ia sudah keluar dari kawasan rumah kosong itu. Jalan utama kompleks perumahannya sudah di depan mata. Ia mempercepat langkah. Kali ini ia bersyukur karena rumahnya tidak berada di blok H—karena blok H adalah blok yang berada paling ujung yang penghuninya rata-rata adalah manusia-manusia real estate—jika iya, pastilah perlu waktu yang lebih lama untuk sampai ke rumah.
Ia memutar kenop pintu rumahnya, terkunci. “Ah, kunci,” monolognya. “Dimana aku menyimpannya, ya?” ia merogoh tas kerjanya dan menemukan kunci rumah, tapi tidak dengan ponselnya.
“Ponselku... tidak ada. Pasti terjatuh saat sembunyi,” bibirnya mencebik sedih sebelum memasukkan kunci ke dalam lubang kunci di pintu.
“Tidak apa-apa, diriku. Aku bisa beli lagi yang lebih murah nanti,” hiburnya pada dirinya sendiri dan berlalu memasuki rumah.
Menutup dan mengunci lagi pintu di belakangnya, kamudian ia melepas sepatunya asal dan menjatuhkan tas kerjanya ke karpet. Ia melemparkan tubuh ke sofa yang tidak terlalu empuk di ruang tamu sederhana itu. Tak mau repot-repot membuat dirinya bersih, misal hanya sekedar mandi. Ia berbaring dan pikirannya menerawang, mengingat kejadian menakutkan sekaligus membingungkan yang baru saja terjadi kepadanya.
Lapor kepada polisi? Haruskah aku? Aku bahkan tidak punya bukti.... Ah sudahlah. Sebaiknya aku beristirahat malam ini dan memikirkannya besok pagi.
Rasa letih dan takutnya membuat ia sangat cepat mengantuk. Akhirnya ia jatuh tertidur, terbuai di alam mimpi. Bahkan ia sempat tersenyum dalam lelapnya. Seakan meyakinkan diri bahwa semua akan baik-baik saja. Tanpa tahu ada sesuatu yang ‘sangat-tidak-dapat-diduga’ akan datang menghampirinya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar