Aqila Nayyara

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Siapa?

Hey…We ballin we fight together

Kedua mataku terbuka lebar. Siapa yang menelponku pagi-pagi begini? Langsung saja kuangkat panggilan itu dengan malas.

“Halo? Siapa? Hoamm..”

“Mel! Ini aku, Aldo. Kakaknya Arum.”

Aku melotot.

“Kenapa kak?”

“Cepat kesini. A-arum, Mel. Arum meninggal...”

Lirihan dan kata-kata itu 100% menyadarkanku. Segera saja aku pergi ke halte bus, menunggu bus datang.

“Cepat…cepat…”

Bus pun datang. Aku segera naik. Ya tuhan, apa yang terjadi? Bagaimana mungkin? Kenapa Arum? Siapapun, tolong katakan bahwa itu hanya lelucon, kumohon.

Gubrak

Suara itu membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke sumber suara, melihat seorang lelaki yang nampaknya terburu-buru.

“Anda tidak apa-apa?”

Lelaki itu menoleh, melontarkan tatapan tajam padaku. Tatapan marah, bingung, dan terkejut dapat kurasakan dari kedua matanya. Lantas, ia berdiri dan turun dari bus. Aku mengikutinya, tapi ia menghilang begitu saja. Aku segera berlari menuju rumah Arum.

Sesampainya disana, aku melihat Kak Aldo yang sedang ditenangkan oleh Rangga. Diana juga ada disana.

“Kak…Arum bagaimana?” tanyaku dengan suara bergetar.

Kak Aldo tetap terus menangis. Sebagai jawaban, Diana menggeleng, menuntunku masuk ke dalam kamar Arum. Kulihat disana Arum tergeletak di lantai, dengan luka di lehernya. Aku menutup mulutku tak percaya. Air mataku mengalir. Aku menggeleng-geleng. Tak mungkin, ini pasti mimpi.

“Bu-bunuh diri…” lirih Diana.

“Tidak. Arum tidak mungkin bunuh diri. Dia bukan anak yang mudah putus asa, dan memilih jalan yang gegabah seperti ini.” ucap Kak Aldo.

“Tapi, kak-“

“Benar kata Kak Aldo. Arum tidak mungkin bunuh diri.” potongku.

Polisi datang, memeriksa TKP. Arum diduga bunuh diri, tapi tak menutup kemungkinan jika ia dibunuh. Barang-barang bukti dikumpulkan. Ada boneka yang dakronnya telah berhamburan, ada sebuah jam tangan yang bukan milik Arum, dan ada gelang milik Arum yang manik-maniknya terlepas dari talinya.

Aku bergidik. Sekelebat bayangan lewat di depanku. Teriakan nyaring Arum terngiang di telingaku. Aku menggeleng-gelengkan kepala. Ada apa denganku?

Polisi meminta keterangan kami.

“Saya bekerja di Bandung, dan tinggal disana. Orang tua kami berdua sudah tiada, jadi Arum tinggal sendiri disini. Se-setiap akhir bulan saya dan Arum selalu bertemu. Kebetulan hari ini jadwal kita bertemu. Tapi saat tadi pagi saya mengetuk pintu, tak ada jawaban darinya. Saya masuk dan… melihat Arum sudah terkapar di lantai kamarnya…” jelas Kak Aldo.

“Saya sabahat Arum. Ka-mi terakhir bertemu minggu lalu di kampus.” ucap Diana tersedu-sedu.

“Saya juga sahabat Arum. Kami tak sengaja bertemu di minimarket kemarin lusa, setelah itu saya belum bertemu Arum lagi.” ucapku sambil menahan tangis.

“Saya temannya Arum. Kemarin adalah hari terakhir saya bertemu Arum.” ujar Rangga.

Polisi itu menanyakan apakah Arum terlihat aneh akhir-akhir ini.

“Tidak. Dia tampak biasa saja.” jawabku.

Diana mengangguk.

“Kami tidak pernah bertengkar. Arum orang yang terbuka, ia tidak menceritakan masalah apapun.”

Tunggu. Boneka, jam tangan, gelang. Ketiga benda itu berputar-putar di kepalaku.

“Aku mau memberikan hadiah untuk Arum. Menurutmu hadiah apa yang cocok untuknya?”

“Kamu masih menyukai Arum? Bukankah kamu pernah ditolak?”

Suara orang bercakap-cakap terngiang di kepalaku. Salah satunya aku, dan satunya lagi…

“Arum suka boneka, beri dia boneka saja.”

“Ide bagus. Aku pernah memberikannya gelang, tapi tidak pernah dipakai sama sekali.” ucapnya tertunduk sedih.

“Dia tidak suka pakai gelang atau semacamnya, Ga.” jawabku sambil tertawa.

“Sayang sekali, padahal aku suka pakai jam tangan dan gelang.”

“RANGGA!”

Semua menoleh karena teriakanku.

“Ada apa, Mel?” tanyanya bingung.

“Jam, jam itu milikmu, kan? Dan, bonekanya…kamu sudah memberikan Arum bonekanya?” tanyaku.

Rangga tampak terkejut.

“Ti-tidak! Bukan aku! Aku memang memberikannya boneka, tapi bu-bukan aku yang-“

“Kenapa kamu seperti itu, Ga? Dia adikku, kita sahabat kan? Kenapa?”

Kak Aldo benar-benar terkejut. Begitu juga dengan aku dan Diana. Rangga masih menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Bukan…bu-bukan aku…”

“Tapi bagaimana? Semua bukti yang ada disini mengarah padamu!” seru Diana.

Pada akhirnya, Rangga dibawa di kantor polisi. Mayat Arum dibawa ke rumah sakit untuk diautopsi.

“Apa ini?”

Aku menoleh, menghapus air mata, lalu berjalan keluar. Sulit kupercaya, apa Arum mengirimkan pesan padaku agar pelakunya terungkap? Tapi, mengapa harus aku? Mengapa bukan Kak Aldo yang diberitahu? Dan lagi, apa alasan Rangga untuk membunuh Arum? Apa karena Arum menolaknya? Hanya itu? Hanya karena itukah nyawa temanku yang berharga harus melayang?

***

Disinilah kami. Aku, Kak Aldo, dan Diana berdiri di makam almarhumah temanku, Arum. Kami menangis, tak bisa berhenti. Nampaknya Kak Aldo benar-benar terpukul. Satu-satunya keluarga yang ia punya harus pergi. Ia harus terus melihat orang yang ia sayangi pergi satu persatu.

Tapi, ada yang janggal. Mengapa aku merasa ada sesuatu yang aku lupakan? Apa hanya perasaanku saja, atau memang sejak tadi Diana memerhatikan gerak-gerikku? Aku pulang dengan perasaan sedih dan bingung.

NGINGG

Grep

Aku memegang kepalaku. Seluruh badanku bergemetar. Apa lagi ini?

“Mel, ka-kamu mau apa?”

“Diam.”

“Mel…ini aku, Arum. Ku-kumohon sadarlah.”

“Aku sedang dalam kesadaran penuh.”

“Pergi, atau-“

“Atau apa?”

“J-jangan, Mel…”

“AHAHAHAHAHAHA.”

“AAAAAAA”

“Hahh…hah..”

Aku? Aku…yang sebenarnya membunuh Arum? Tapi, kenapa? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya? Sebenarnya apa yang terjadi?

Tok tok tok

“Amel! Amel…buka pintunya.”

Itu Diana! Apa yang harus aku lakukan? Diana, dia tidak boleh tahu ini. Segera aja, aku mengambil sejumlah uang, dan pergi keluar melewati pintu belakang rumahku.

Tok tok tok

“Amel!”

Aku berlari tanpa arah. Aku tak tahu harus kemana. Aku takut harus berlari sendirian. Tapi aku lebih takut jika aku ditangkap. Apa yang bisa dijelaskan, sedangkan aku sendiri tak tahu kronologi yang sebenarnya. Meski tak tahu kemana tujuanku, aku harus tetap berlari, tetap melarikan diri. Selamanya, menjadi buronan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post