Aqila Nayyara

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Melukis Mimpi

Melukis Mimpi

Penulis: Aqila Nayyara Husnaeni

Jenis buku: Cerpen

Judul: Melukis Mimpi

Sekolah: SMPN 1 Bogor

Kugoreskan tinta kuning pada selembar kanvas di depanku. Lalu, kugoreskan tinta warna lain. Kupadukan semua warna menjadi gambar yang inginku lukis, taman bunga matahari. Sudah sekitar dua jam aku tak beranjak dari tempat dudukku.

Ceklek

“Bunda?” tanyaku.

“Iya. Kamu sedang melukis, Lin?” tanya bunda.

“Iya, bunda. Alin diikutkan lomba melukis oleh Bu Vero.” jawabku.

“Oh begitu. Semakin hari lukisanmu semakin cantik, ya.” puji bunda.

“Bunda bisa aja.” ucapku.

“Sudah, sana tidur. Nanti besok kamu terlambat, terus menyalahkan bunda.” ucapnya.

“Iya.” jawabku sembari membereskan alat lukis.

Bunda kembali ke kamarnya. Aku menghela napas, memikirkan apakah aku akan berhasil. Namun, mataku lebih dulu tertutup.

Keesokan harinya, aku berangkat ke sekolah bersama temanku, Helen. Di kelas…

“Alin, sini ke depan.” ucap Bu Vero.

“I-iya, bu.” jawabku gugup sambil berjalan ke meja depan.

“Kamu sudah menyelesaikan lukisanmu?” tanya Bu Vero.

“Sudah.” jawabku.

Aku segera ke mejaku, mengambil hasil lukisanku, dan kembali ke meja Bu Vero.

“Wah! Cantik sekali. Bagus, kamu sudah siap ikut lomba?”

“Iya, Alin akan berusaha sebaik mungkin.” jawabku.

“Kamu teruslah berlatih. Tapi, jangan sampai kelelahan.” ucap Bu Vero.

“Oke, bu.” jawabku seraya mengacungkan jempol.

Pelajaran berlanjut seperti biasa. Namun, aku tak terlalu fokus memperhatikan. Aku lebih memikirkan lomba yang akan kuikuti. Bagaimana kalau aku gagal? Bagaimana kalau lukisanku tiba-tiba jelek? Bagaimana kalau aku mengecewakan Bu Vero? Pertanyaan terus mucul dalam benakku. Dari sekian banyak pertayaan, aku tak bisa menjawab satu pun.

Saat perjalanan pulang…

“Alin, kenapa di kelas kamu melamun terus?” tanya Helen.

“Aku…memikirkan lomba.” jawabku lesu.

“Jangan cemas, Alin. Aku yakin kamu bisa! Pasti bisa!” ucap Helen.

Ia berhadapan denganku, sambil berjalan mundur. Hingga ia tak sadar bahwa di belakangnya ada sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi.

“HELEN!” seruku.

Itu adalah kalimat terakhir yang aku ucapkan, karena setelahnya pandanganku kabur, dan seketika menjadi gelap.

“Alin! Alin?” panggil bunda.

Aku terbangun, membuka mataku. Namun, aku tak melihat apapun. Hanya kegelapan yang bisa kulihat.

“Bun-bunda?”

Aku meraba-raba sesuatu yang terasa seperti kasur.

“Bun, A-alin tidak bisa lihat bunda.” ucapku gemetar.

Meski tak bisa melihat, aku bisa merasakan bunda menunduk.

“Maafkan bunda, Lin.” ucap Bunda.

Aku terkejut bukan main. Tunggu. Aku, buta? Sungguh? Mataku tak kuasa menampung air mata. Di ruangan itu hanya terdengat suara isakan tangisku. Tak ada yang mau memulai pembicaraan.

“Bunda…” lirihku.

Bunda memelukku, tanpa berkata apapun. Kami pulang ke rumah dengan awan hitam yang terus mengelilingi kami.

Seminggu aku izin tak bersekolah. Aku yakin, satu sekolah pasti sudah tahu berita mengenai aku yang kehilangan penglihatan ini. Tapi, bukan itu masalah utamanya. Kalau penglihatanku hilang, lalu bagaimana aku bisa melukis? Bagaimana aku akan mengikuti lomba yang sudah kutunggu-tunggu itu?

Hari ini aku kembali ke sekolah. Aku membawa tongkat, sebagai pembimbingku agar tidak terjatuh. Meski tak melihat, aku dapat merasakan banyak orang yang melihatku dengan tatapan aneh. Ada yang menatapku dengan tatap jijik, ada juga yang menatapku dengan iba.

Sejak aku tak lagi bisa melihat indahnya dunia, aku merasa indra-indra lain dalam tubuhku menajam. Aku bisa merasakan ekspresi apa yang orang tunjukkan saat sedang berbicara, aku juga bisa mengetahui kebohongan seseorang. Masih terpikir olehku, bagaimana dengan lomba melukisku? Apakah aku akan didepak dari eskul melukis? Entahlah.

Suatu hari, Bu Vero memanggilku ke ruangannya. Ia mengatakan bahwa sudah ada seseorang yang menggantikanku dalam lomba melukis nanti. Saat kutanya siapa, ia menjawab;

“Helena. Lukisannya tak kalah bagus darimu. Tapi, kamu tetap menjadi anggota eskul lukis.” jawab Bu Vero.

Aku kesal bukan main. Langsung saja aku keluar dari ruangannya tanpa mengatakan sepatah kata pun. Aku berjalan, mencari Helen. Sayup-sayup terdengar suara Helen sedang mengobrol dengan anak lain.

“Helen, kamu, ikut lomba melukis?” tanyaku.

Yang ditanya mengangguk.

“Iya, kata Bu Vero lukisanku bagus.” jawabnya.

“Kamu jahat, Helen.” ucapku.

“Tidak. Itu karena kamu kehilangan penglihatan, Lin.”

Aku tak menjawab, lebih memulih pergi. Sepulang sekolah, aku mengatakan hal tadi kepada bunda.

“Alin tidak suka Helen, bun. Dia sudah merebut semuanya dari Alin.” ucapku kesal.

“Alin, ini sudah takdir. Kamu tidak bisa menyangkal, atau menyangkal takdirmu sendiri. Tapi, ada satu yang bisa kau sangkal.” ucap bunda.

Aku mengerjap-ngerjapkan mataku.

“Melukis. Meski tak bisa lihat, bunda yakin kamu bisa merasakannya.” lanjutnya.

“Tapi, memangnya bisa, bun?” tanyaku ragu.

Bunda mengangguk.

“Tentu saja. Di dunia ini, tak ada yang tak mungkin.”

Aku mulai melukis lagi. Kini, aku hanya melukis hal-hal yang sederhana. Seperti pohon, bunga, dan benda-benda lain yang sekiranya mudah. Awalnya kupikir dengan begitu, teman-teman akan menyukaiku, tak lagi menganggapku aneh. Namun, kenyataan tetaplah kenyataan. Takdir tetaplah takdir. Hal itu justru membuat teman-teman semakin tak menyukaiku.

Awalnya mereka hanya berbisik-bisik di belakangku. Kini, mereka berani mengatakannya di hadapanku. Mereka mengatakan hal-hal yang membuatku merasa sangat terpojok. Mulai dari kata-kata menyakitkan yang mengatakan bahwa aku bukan lagi teman apalagi sahabat mereka, hingga mereka yang mengata-ngataiku sebagai anak tak berguna. Padahal, siapa yang ingin kehilangan penglihatan? Aku tak mengerti, mengapa mereka tega mengatakan hal-hal kejam seperti itu. Apa mereka tidak berpikir, orang yang mereka hina itu akan sakit hati?

Kalian tahu? Hatiku hancur berkeping-keping. Sekeras apapun aku mencoba untuk mengobati luka di hatiku, maka sekeras itu pula hatiku menolak untuk diperbaiki.

Tuhan…

Tidakkah dunia terlalu kejam?

Dunia yang terlihat indah,

ternyata tak seindah yang terlihat

Di balik kebaikan seseorang,

selalu ada niat jahat di dalamnya

Aku tak tahu,

Kau memudarkan penglihatanku

untuk penebusan dosa yang selama ini kubuat

Atau,

Kau tak ingin aku melihat kejamnya dunia?

Sungguh, aku benar-benar merasa hancur. Aku sangat tertekan. Akhirnya, aku mencoba untuk memberanikan diri menceritakan hal yang selama ini terjadi padaku ke bunda.

“Bun, Alin mau pindah sekolah.” ucapku.

“Kenapa?” tanya bunda sedikit terkejut.

Aku menceritakan hari-hari yang selama ini kulewati. Kuceritakan betapa jauhnya jarak yang kini terbentang antara aku dan teman-teman, terutama Helen. Sudah tak ada benang yang bisa menyatukan kami. Aku benar-benar ingin pergi jauh darinya. Bunda setuju, dan mulai mengurus surat kepindahanku.

Beberapa hari kemudian, aku dimasukkan ke sekolah khusus seni oleh bunda. Disana, teman-teman baruku lebih menghargaiku. Sebab, ada juga beberapa anak berkebutuhan khusus sepertiku. Aku senang, karena tak perlu ragu untuk berpendapat, tak lagi takut dicemooh atau diolok-olok. Banyak sekali orang yang menyukai karyaku.

Suatu hari, bunda mendapat telepon dari Kak Shiva, dokter pribadiku. Kabarnya, ada seseorang yang akan mendonorkan matanya padaku. Mendengar hal itu, aku sangat senang. Tapi, aku penasaran siapa yang mendonorkan matanya padaku. Setahuku, hanya orang yang sudah meninggal yang bisa mendonorkan matanya.

Seminggu kemudian, operasi dimulai. Aku sangat takut, tapi bunda selalu menguatkanku. Beberapa jam berlalu, operasiku selesai dan berjalan lancar. Dokter membuka perban dan bilang padaku agar jangan dulu membuka mata. Setelah itu, dokter memintaku untuk membuka mata. Awalnya mataku belum terbiasa, tapi lama-kelamaan aku bisa menyesuaikan cahaya yang masuk ke mataku. Aku bisa melihat lagi!

Aku menangis bahagia. Sungguh, rasanya dunia hampa jika tak bisa melihat setitik cahaya pun.

“Bun, dok, siapa yang mendonorkan matanya pada Alin?” tanyaku penasaran.

Bunda terdiam beberapa saat.

“Helen.”

“He-helen? Apa…Helen sudah meninggal, bun?” tanyaku terkejut.

“Iya…oh iya, Helen menitipkan surat ini.”

Aku membuka surat itu.

Hai, Alin! Bagaimana kabarmu? Al, kau tahu? Aku juga ingin menjadi pelukis, sama sepertimu. Tapi setelah kupikir-pikir, aku tak akan pernah bisa mengalahkanmu. Aku betul-betul iri padamu, saat kau diikutkan lomba oleh Bu Vero. Al, kamu tak perlu minta maaf atau pun merasa bersalah. Karena yang salah bukan kamu, tapi aku. Aku mendonorkan mataku untukmu, dengan harapan kau menggunakannya dengan baik. Kau harus melukis wajahku, ya! Oh iya, soal kecelakaan itu, aku minta maaf. Saat itu, akulah yang sengaja membuatmu begitu. Kupikir akhirnya tak akan jadi seperti ini. Aku menyesal, sangat amat menyesal. Maafkan aku, Al.

Helen.

Aku syok. Benar-benar tak menyangka kronologinya seperti ini. Beberapa hari kemudian, aku pergi ke makam Helen untuk meminta maaf atas kesalah pahamanku. Aku juga berterima kasih padanya. Langkahku terasa amat berat, kala akan meninggalkan makam Helen. Aku berbalik, menatap makam Helen. Setetes air turun ke pipiku. Sekali lagi, aku menangis.

Tapi, aku tak boleh bersedih terlalu lama. Aku akan melakukannya, menggapai mimpiku. Apapun rintangannya, walau badai sekali pun, aku akan tetap melawannya, terus berjalan, dan tak akan pernah berhenti.

.

.

.

Impian bukan hanya soal mimpi, bukan sekadar keinginan semata. Tapi, impian adalah hal yang harus kau perjuangkan. Seberat apapun masalah yang kau hadapi, sebanyak apapun rintangan yang harus kau lalui, lakukanlah. Walau orang lain meremehkanmu, mengolok-olokmu, atau merendahkanmu, abaikanlah. Tak perlu lihat orang lain. Lihatlah dirimu, lihatlah seberapa banyak kau telah melangkah. Karena semua letih dan lelahmu, akan terbayar saat kau mencapai impianmu.

TAMAT

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Ih terhura aku tuh bacanya:v

01 Jun
Balas

Ehehehe, makasih♡

02 Jun



search

New Post