Navigasi Web

BAGIAN 1

1. Pagi, Senja, dan Kehidupan

9 tahun lalu...

“ Tio....” suara pelan dan lembut membangunkanku dari tidur panjangku.

“ ayo sholat shubuh dulu nanti ke bawah sarapan "

“ oahhhhhh....” aku menguap tapi belum membuka mata. Terasa berat sekali mataku ini. Pelan pelan aku membuka mata, memaksakan mataku untuk membuka selebar lebarnya. Perih rasanya, tapi kata ibuku itu adalah awal yang baik untuk memulai hari agar memberitahu otak kita untuk memulai hari dan pikiran jernih.

“ayo... Nanti keburu mataharinya terbit"

Dengan mata setengah tertutup, aku menjulurkan tanganku ke ibu dan aku ingin di tariknya sampai aku bisa duduk. Ibu tersenyum dan membalas uluran tanganku.

“ dobrak...” suara pintu yang dibuka dengan keras mengagetkan aku dan ibu. Aku yakin itu Tian, dia tak pernah santai jika membuka pintu. Berkali kali ayahku memperbaiki engsel, dan gagang pintu. Kami sudah terbiasa dengan hal itu.

“ cepetan yo.... bangun...!.,” keluh Tian sembari menghentak hentakkan kakinya berkali kali.

“ iya ini juga mau bangun.” Jawabku.

Ibu dan Tian menungguku di kamar dan mengawasiku untuk sholat shubuh untuk memastikan aku jujur. Kami bertiga langsung beranjak dari kamarku dan menuju ruang makan. Setelah makan aku dan Tian mandi dan bersiap siap pergi ke sekolah. Karena jarak umur kami hanya selisih satu tahun, kami bersekolah di sekolah yang sama. Hari ini aku dan Tian tidak di antar oleh ayah, katanya ada partner kerja ayah dan ibu akan berkunjung ke rumah kami hari ini. Karena jarak sekolah kami tidak terlalu jauh, maka aku dan Tian tidak masalah dengan hal itu.

Sepulang sekolah...

Karena hari ini jadwal pelajaranku banyak, akupun pulang sore. Terlihat cahaya merah dari balik pepohonan di taman depan rumahku. Aku berlari ke arah rumah dan terdengar sirine pemadam kebakaran, perasaanku tidak enak dan sesampainya disana terlihat si jago merah berdiri di seluruh penjuru rumahku, seperti rumput yang lebat yang tertiup angin. Terlihat orang orang memakai baju seperti mantel warna oranye berusaha masuk ke rumah kami dan juga banyak petugas damkar yang bergotong royong memegang selang besar untuk memadamkan kobaran api di rumah kami. Juga terdengar suara ledakan dari dalam rumah kami. Tubuhku seketika lerkulai lemas dan jatuh ke tanah, jantungku berdebar kencang sekencang drum di pukul untuk awalan atau akhiran lagu. Aku khawatir dengan ayah dan ibu. Aku berusaha berlari menuju rumah tapi banyak orang yang menahanku dari belakang. Pikiranku kacau, ibu dan ayah apakah masih disana atau sedang pergi keluar, sedangkan Tian masih di sekolah dengan ekskul basket nya. Tidak ada seorangpun dari mereka yang terlihat disana.

Api mulai padam. Terlihat dua pemadam kebakaran membawa kantong jenazah. Dan dua lainnya juga membawa seorang jenazah. Aku langsung berlari kesana dan memastikan apakah itu ayah atau ibu atau bukan. Terlihat Tian berlari kearah ku dengan tatapan bingung.

“ Apa yang terjadi?! Yoo....?!!!.” Tian menghentakku,

Aku seketika menangis melihat dua jasad tak bernyawa yang tak lain adalah ibu dan ayahku. Tian tidak terima apa yang terjadi. Seluruh tubuh ayah dan ibu tidak terlihat jelas akibat luka bakar yang membakar tubuhnya. Tapi aku yakin mereka adalah kedua orang tua kami, yang kami sayangi, mereka juga menyayangi kita, aku tak kuat membendung air mataku, tenggorokanku kering terasa perih akibat menahan tangisan.

Beberapa menit kemudian ambulan tiba, aku dan Tian ikut bersama jenazah ayah dan ibu. Kematian ayah dan ibu kami seperti senja yang akan membawa kami ke kegelapan malam, tanpa arah, tidak ada yang melindungi aku dan Tian, terlalu dini untuk di tinggalkan,waktu itu aku baru berumur 15 tahun dan Tian 16 tahun.

Sejak saat itu,kami berdua tinggal sendirian. Ada yang merekomendasikan kami ke panti asuhan, tapi Tian menolaknya. Dia tidak mau merepotkan orang lain. Kami mendapat beasiswa yatim piatu untuk melanjutkan sekolah. Sepulang sekolah aku bekerja di laundry dekat tempat tinggal kami. Dan umur Tian yang setahun lebih tua dariku mampu bekerja di salah satu restoran di kota. Kami berdua memutuskan tidak mengikuti ekstrakulikuler di sekolah, agar sore hari sampai malam kami bisa bekerja. Walaupun begitu, kami tetap hidup bahagia bersama. Menabung uang hasil jerih payah kami untuk kedepannya. Inilah takdir, bukan takdir yang salah. Setelah kejadian itu, kami sadar bahwa kasih sayang kedua orangtua kami sangat penting, dan kami terus menatap kedepan dan melanjutkan hidup.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post