Prolog

Ada yang bilang bahwa setiap orang memiliki jalan hidupnya masing-masing. Dan semua orang dapat memutuskan jalan mana yang ingin dia tempuh. Aku percaya keduanya, dulu. Sejak aku bertemu dengan orang-orang yang mungkin tak menemukan persimpangan dalam perjalanannya, aku mulai meragukan poin kedua. Orang-orang itu terjebak dalam rute yang tak mereka harapkan. Apakah semua orang benar-benar bisa memilih jalannya?

Seharusnya aku sidah menyadari semua itu sejak dulu. Ketika orang-orang mulai menganggapku tidak waras, saat itu aku tengah menolak mentah-mentah perjalananku. Aku mencoba melarikan diri dari jalan di hadapanku yang tak pernah ku inginkan. Orang-orang mulai membawaku untuk disembuhkan. Awalnya aku menolak. Menurutku aku tidak sakit. Menurutku aku hanya sedang bertengkar dengan diriku sendiri.

Ku pikir pada akhirnya semua yang ku lakukan tak berdampak apa-apa. Aku sampai pada satu titik di mana aku sudah tidak peduli apapun, bahkan termasuk diriku sendiri. Ku biarkan saja orang-orang itu mengacak-acak semua tentangku. Menata ulang seperti yang mereka inginkan. Mengaburkan memoriku. Hingga aku mulai melupakan siapa aku yang sesungguhnya. Aku benar-benar seperti diprogram ulang.

Muncul ke permukaan degan wajah baru bukanlah hal yang mudah. Apalagi skenario ini membuatku mau tak mau harus terlihat dalam hal yang tak terduga--bahkan aku pernah menyebutnya 'sesuatu yang merepotkan'. Semua ini memaksaku yang masih rapuh dengan jati diri baru untuk tetap kuat. Cukup mereka yang tumbang. Aku harus bertahan dan menyelesaikan semuanya atau kisah ini akan berakhir jauh lebih menyedihkan.

Sekali saja, aku akan berdamai dengan diriku sendiri. Untuk mereka.