Chapter 17. Labirin (1)
Bian's Pov.
Paginya kami sudah berkumpul seperti yang sudah direncanakan. Kemarin Ziva juga bercerita bahwa di dekat labirin ada sebuah villa yang bisa digunakan untuk menginap, jadi kami memutuskan untuk menginap di villa itu nanti malam.
Setelah semuanya berkumpul, kami langsung berangkat menuju labirin, perjalanan untuk sampai kesana hanya memerlukan waktu setengah jam. Hingga sampailah kami di depan labirin itu, kami memilih tidak melewati jembatan tua itu. Karena, ternyata masih ada jalan lain yang tidak semua orang tahu.
"Ini labirinnya?"
"Iyaa,"
"Kita mau langsung masuk aja?"
"Gimana Bian?" tanya Aris padaku.
"Kita ini mau bareng? atau pisah?"
"Menurutku pisah aja, tapi berdua gitu," kata Ziva.
"Boleh juga," kata Feli.
"Gimana kalau aku sama Bian, Feli sama Aris?" ujar Ziva.
"Boleh aja sih," ucap Aris.
"Oke sip," ucap Feli.
"Kita langsung jalan aja nih?" tanyaku.
"Iya,"
"Jangan lupa, kalau jalan nanti kalian taburin bunga. Siapa tau kita bisa ketemu," ucap Feli.
"Oh iya, hampir aja lupa," jawab Ziva.
"Kalian ke kanan, kami ke kiri," kataku pada Feli dan Aris.
"Semoga kita bisa ketemu di pintu keluar sana," ujar Aris.
"Iyaa, yaudah langsung jalan sekarang,"
Aku dan Ziva mengambil jalur ke kiri, tidak lupa Ziva terus menebar bunga. Di tengah perjalanan, aku mulai merasa aneh dengan Ziva. Dia berbeda dari biasanya.
"Bian," panggil Ziva.
"Kenapa?"
"Mau tanya,"
"Tanya aja," ujarku.
"Kita kan udah temenan dari kelas 1 sd, berarti udah hampir 10 tahunan lah,"
"Trus?"
"Kamu kan belum pernah ngenalin pacarmu ke aku,Feli, dan Aris loh,"
"Gak punya,"
"Masa sih? emangnya kamu gak pernah suka gitu sama cewe?"
"Beneran, suka ya cuman suka aja. Mungkin hanya sebatas kagum sih," ucapku.
"Tipe cewe kamu tuh gimana?"
"Kenapa gitu?" tanyaku balik.
"Ya gapapa, pengen tau aja,"
"Baik, bisa sayang sama orang tuaku juga. Cantik? itu sih kayak bonus aja gitu,"
"Berarti yang penting 2 di awal ya?"
"Hm,"
"Kamu pernah ada rasa gak sih sama temen?"
"Maksudnya?" tanyaku.
"Kayak misal nih kita kan temenan, kamu pernah ada rasa gak sih sama aku atau Feli mungkin,"
"Enggak,"
"Yakin?"
"Iya, karena aku udah anggap kamu, Feli, dan Aris kayak saudara sendiri. Jadi kalau aku suka sama kamu atau Feli kesannya kayak aku suka sama saudara sendiri. Aku juga selama ini gak pernah untuk mikirin itu,"
"Oh gitu ya,"
Aku hanya mengangguk.
"Menurutmu kalau ada orang yang suka sama temen atau sahabat sendiri tuh gmana?"
"Sebenernya gak salah, karena cinta kan bisa datang karena terbiasa, mungkin. Tapi gak semua orang bisa setuju dengan kalimat tadi. Contohnya aja gini, aku udah terbiasa dengan adanya kamu atau Feli. Tapi apa pernah aku bilang kalau aku suka kalian? cinta kalian? enggak kan. Ya mungkin kalau cinta, cintanya seorang teman, atau lebih tepatnya rasa sayang kepada teman,"
"Berarti kalau aku suka sama temen sendiri gak salah?"
"Kembali ke diri kamu sendiri, kembali ke pendapatmu. Kamu juga harus memikirkan apa yang terjadi ke depannya,"
"Maksudnya?"
"Kayak misal, kamu udah terbiasa sama dia. Tiba-tiba kamu ngungkapin perasaanmu itu, dan mungkin kamu jadian sama dia. Tapi, pada saat putus kamu tidak bisa sedekat dulu sama dia. Entah karena alasan sudah menjadi mantan atau dia sudah ada yang lain,"
"Aku ngerti sekarang,"
"Good," ucapku.
"Kalau aku bilang, aku suka kamu gimana?"
"Hm, aku sayang kamu," ujarku.
"Sayang? serius?"
"Sayang sebagai teman, kan tadi aku udah bilang Ziva," gemasku.
"Oh iya, lupa aku," katanya lirih.
Aku tahu kalau Ziva mempunyai perasaan lebih kepadaku. Tapi, aku tidak ingin memikirkan itu sekarang, karena aku sudah nyaman dengan pertemanan ini.
"Bian," panggil Ziva.
"Ya?"
"Kamu pernah kagum gak sih sama cewe? misal aja kayak kagum ke aku atau Feli gitu?"
"Walaupun gak lama?"
"Iya,"
"Pernah, kagum sih kagum aja,"
"Kagum ke siapa?"
"Feli," ujarku.
Aku melihat perubahan wajah Ziva, aku tau itu karena kata-kataku. Tapi, memang benar aku pernah kagum kepada Feli. Jadi, apa yang aku bilang tadi itu tidak sepenuhnya benar. Karena, nyatanya aku pernah kagum kepada Feli.
"Apa yang kamu kagumi dari Feli?"
"Banyak,"
"Salah satunya?"
Belum sempat aku menjawab, pintu keluar sudah terlihat. Karena daritadi mengobrol, sampai tidak sadar kalau sudah berjalan sejauh ini.
"Eh, itu pintu keluarnya,"
"Mana?"
"Ituu, ayok Ziva.
"Ayok, tapi kamu belum jawab tadi Bian,"
"Kapan-kapan deh,"
Ternyata Aris dan Feli sudah sampai lebih dulu.
"Lama amat," ucap Aris.
"Ya namanya juga jalan, kecuali kalau aku naik pesawat. Beda ceritanya dah," ucapku.
"Iya dah,"
"Ada halangan waktu jalan gak?"
"Enggak sih, kalau kalian?" tanyaku.
"Cuman tadi Feli sempat kesandung aja, tapi gapapa kok," kata Aris.
"Kamu gapapa?" tanyaku pada Feli.
"Aku baik-baik aja,"
"Lain kali, kamu harus hati-hati,"
"Iya," kata Feli.
"Ziva, Ziva sayang gapapa?" kata Aris kepada Ziva sambil tertawa.
"Apaan sih," kesal Ziva kepada Aris.
"Dih, sensi banget,"
"Suka-suka lah,"
"Sekarang kita jalan ke villa aja, mumpung belum gelap," ucapku.
"Ayok lah,"
Aku dan Feli berjalan di depan sambil mengobrol. Sedangkan Aris dan Ziva berada dibelakang.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar