Chapter 10. Rumah Seberang Jalan (2)
Bian's Pov.
"Kamu ngapain duduk disitu terus? orang tuamu kemana?" tanyaku.
Perempuan itu hanya diam.
"Kamu paham bahasaku kan?"
Dia hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Kamu disini sendirian? Kamu penghuni baru rumah ini?"
Dia kembali diam, tidak menjawab pertanyaanku.
"Apa ada yang bisa kubantu? atau kau ingin bercerita?"
"T-tolong," katanya.
"Aku harus menolongmu?"
"Tolong..." katanya lagi.
Iya aku mengerti dia minta tolong, tapi aku bingung harus menolongnya seperti apa. Dia saja tidak bercerita kepadaku apa masalahnya. Saat aku ingin bertanya lagi, tiba-tiba dia menghilang. Tidak lama setelahnya, aku merasa ada yang menyiram wajahku dengan air.
"Apaan nih," kesalku.
"Eh, maaf Bian. Daritadi kamu dibangunin gak bangun, yaudah kita pake cara ini," jelas Ziva.
"Iya, maaf ya Bian. Bian kan ganteng," sambung Feli.
"Hm, kalian tunggu di ruang tamu aja,"
"Oke,"
Sebelum keluar Aris berkata kepada Bian.
"Aku gak ikut-ikutan yang tadi, jadi kita masih temenan," kata Aris.
"Dih gak jelas," kataku.
Setelahnya, Aris langsung keluar dari kamarku.
5 menit kemudian.
Aku selesai mandi, dan masih memikirkan tentang mimpiku tadi. Bingung, apakah aku harus menolongnya atau tidak. Aku saja tidak kenal dengannya, aku harus apa sekarang? Entah lah.
Di ruang tamu, Aris sedang menyanyi. Pantas saja daritadi berisik, karena Aris rupanya.
"Kau terindah," kata Aris.
"I know," kata Ziva.
"Kan slalu terindah,"
"Makasih,"
"Harus bagaimana ku mengungkapkannya?"
"Tinggal ungkapin langsung sih,"
"Kau pemilik hatiku,"
"Aku pemilik hatinya dia kok,"
"Sad boy," ujar Feli.
"Oh kasian, oh kasian, aduh kasian," ujarku.
Aku, Ziva, dan Feli tertawa bersama, karena hal tadi.
"Ziva lagi, ngapain pake acara jawab segala. Aku kan lagi nyanyi," sebal Aris.
"Lagian dari kemaren galau terus," jawab Ziva sambil terkekeh.
"Ya terserah aku lah," ucap Aris.
"Gini nih dari good boy, pengen jadi fakboi, dan akhirnya jadi sad boy," ujar Feli sambil tertawa lagi.
"Aku ganteng, aku diam," ucap Aris pede.
"Kebiasaan dah," malas Ziva.
"Suka-suka," balas Aris.
"Iya dah, yang sehat ngalah," kataku.
"Eh, itu kok rame banget," ucap Feli tiba-tiba.
"Kira-kira rame kenapa ya?penasaran aku," ucap Ziva.
"Kesana aja," sahut Aris.
"Ide bagus," kataku.
Kami langsung keluar dan menuju kerumah depanku. Keadaan ramai karena para tetangga juga ikut keluar, dan terdapat beberapa polisi. Tidak lupa para wartawan. Sepertinya ini merupakan sebuah kasus, tapi entah itu benar atau tidak.
Beberapa menit kemudian, dua orang dibawa keluar oleh polisi. Sepertinya mereka suami istri. Bisikan tetangga mulai terdengar. Ada yang mengatakan mereka membunuh anaknya sendiri, dan masih banyak lagi. Tapi, tunggu dulu, membunuh anaknya sendiri? jangan-jangan perempuan yang meminta tolong di mimpi itu. Jika benar, aku bersyukur karena dia sudah ditolong, walaupun bukan aku yang menolongnya.
Dari dalam rumah polisi membawa mayat perempuan, mungkin saja itu dia. Aku hanya sempat melihat sekilas saja, dan itu memang mirip dia. Mengapa orang tuanya tega sampai membunuhnya? karena menurut cerita yang aku dengar tadi, orang tuanya ingin anak laki-laki bukan perempuan. Sehingga membuat orang tuanya harus membunuh perempuan tadi.
Dengan adanya kejadian ini, aku bisa lebih bersyukur memiliki orang tua seperti ayah dan ibuku. Mereka berdua sangat menyayangiku dan selalu mendukung keputusanku, selama itu benar dan baik untukku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar