Charter 1: Sekolah
Judul pertama: Sekolah
“ Apaan sih Far?!” Ujarku sambil menimpuk Ja’far dengan biji Sawi yang kupegang.
“Sudah,sudah! Kalian ini kenapa sih? Gak bisa fokus apa?”
“Maaf,maaf” Jawab Ja’far sambil membalas timpukanku dengan lumpur di tangannya.
“Hiiiiiyyyyyyy!!! Jorok ah Far!!!”
Umar tertawa melihat wajahku yang seperti kepiting rebus. Ingin rasanya Aku menimpuk wajah Umar dengan tunggul pohon paling besar sedunia. Kalau saja keadaannya tidak seperti sekarang ini. Dengan sepatu penuh lumpur dan wajah celemotan,Aku berjalan tertatih menuju toilet sekolah.Lantas melepas pelindung sepatu dan mencuci wajahku. Lalu kembali berjalan menuju kebun sekolah. Pekan ini memang ada jadwal belajar berkebun untuk anak kelas 6. Kami menyelesaikan pelajaran menanam Sawi dengan memakai pipa paralon.
“Akhirnya, selesai juga” Ja’far merenggangkan tubuhnya sambil berjalan di sebelahku. Kami bersama-sama menuju ruang ganti dan melepas masing-masing pelindung sepatu. Di sekolah kami memang menyediakan banyak pelindung sepatu. Agar sepatu para siswanya tidak kotor ketika masuk ke kelas mereka masing-masing setelah belajar diluar.
Kami kembali ke kelas untuk meletakkan sarung tangan, dan balapan menuju kantin untuk makan siang. Umar memesan bakso favoritnya dengan sambal pedas dan air putih. Ja’far memesan nasi kuning dengan sambal dan ayam bumbu merah kesukaannya. Dia tidak memesan minuman. Sudah bawa minuman sendiri katanya. Sedangkan aku memesan ayam bakar dan air putih. Kami memilih meja didekat kipas angin besar kantin. Kami makan sembari mengobrol seperti biasa.
“Sebentar lagi kita UN,kan?” Ja’far memulai pembicaraan yang sudah jelas-jelas kami tidak menyukainya.
“Sebenarnya aku tidak ingin mengganggumu berbicara,Far.Tapi,memangnya kamu mau mengganggu kenikmatan hakiki kita besama karena membahas topik tidak penting bahkan mengusik jiwa dan raga kami?” Ujarku gemas karena dia tak kunjung diam berceloteh tentang UN. Sebenarnya aku tahu jelas-jelas dia takut UN.
“Lebih baik membahas tentang apa yang akan kita lakukan besok.Kan besok sudah libur.” Jawab Umar melerai kami berdua. Walau begitu,aku tidak bisa memaafkan Ja’far yang menendang-nendang kakiku dari bawah meja.
“Betul kata Umar.Lebih baik kita membahas topik untuk besok.” Jawabku sambil membalas tendangan Ja’far dari bawah meja. Sampai gelas dan piring kami hampir melayang.
“JA’FAR! Kenapa kamu tidak mau berhenti?!”
Jawabku sambil menggebrek meja. Ja’far memang sudah keterlaluan. Dia ingin menendang kakiku,dan malah menendang salah satu kaki meja. Sehingga air putihku tumpah. Aku meninggalkan mereka berdua,dan berjalan kembali ke kelas. Aku malu,karena celanaku basah. Untung saja tadi Ayam bakarku sudah tandas. Entah apa yang mereka berdua lakukan di luar sana. Aku tidak peduli. Aku hanya duduk di bangkuku dan melihat keluar jendela. Anggap saja, ini sebuah keberuntungan.
Karena tempat dudukku di dekat jendela yang tidak menyajikan pemandangan di kantin. Dengan begini, aku mungkin bisa melupakan kejadian yang tadi. Bel sudah berbunyi. Tapi kenapa mereka berdua tak kunjung datang? Aku sudah mulai khawatir. Kemana perginya dua sahabat karibku? Ah, sudahlah. Lebih baik aku melupakannya. Lima belas menit berlalu. Aku mengkhawatirkan mereka berdua. Tapi aku harus tetap fokus ke pelajaran. Sebentar lagi UN. Walau sebenarnya aku sudah mengerti semuanya. Dari aku kelas 2, aku bisa dengan mudah mengerti pelajaran kakakku yang sudah kelas 7. Aku sebenarnya juga tidak tahu kenapa aku mudah mengerti pelajaran yang di berikan,lebih dari orang lain.
Dulu,saat aku kelas 4 SD,Aku pernah dihukum oleh Mama karena terlalu sering bermain ponselnya. Akhirnya, Mama mengganti kunci ponselnya. Saat itu, Mama sudah menggantinya berkali-kali. Dan setiap kali itulah, aku dapat membuka kunci ponsel Mama. Entah bagaimana. Aku haya mencoba kemungkinan terbesar kode ponsel yang mungkin Mama gunakan. Contohnya, tanggal lahir Mama,tanggal penikahan Mama, tanggal hari ibu, dan yang memiliki kemungkinan akan Mama pakai.
Sekolah telah usai. Sudah pukul dua siang. Tapi mereka belum kembali juga. Akhirnya,aku bertanya ke wali kelasku. Mr.Tarem
“Kamu belum mendapat kabar tentang Ja’far,ya?”
“ Memangnya dia kenapa?”
“ Alat pacu jantungnya bermasalah. Umar dan yang lain sedang menemaninya ke Rumah Sakit. Sebenarnya Ja’far melarang memberitahukan kepadamu. Katanya,maaf atas yang tadi, tidak usah khawatir. Maaf ya,Fatih.”
Aku mengusap mataku. Aku menangis. Ya! Siapa yang tidak sedih melihat sahabat sendiri sakit? Sengsara? Meenderita? Dan itu semua karena aku?! Aku benar-benar merasa bersalah atas apa yang aku perbuat padanya,atas apa yang aku katakan padanya,dan atas apa yang telah aku pikirkan tentangnya.
“Ja’far di rawat di Rumah Sakit mana?”
“ Dia tidak ingin kamu mengetahuinya. Maaf,Fatih.”
“ Tapi kenapa? Apakah dia marah padaku? Apakah dia tidak mau memaafkanku?”
“ Tapi,apakah kamu mau mengecewakannya? Dia hanya tidak ingin membuatmu khawatir. Dia hanya menginginkanmu agar fokus pada UN. Dia hanya tidak ingin kamu mengkhawatirkannya. Ja’far juga tetap akan mengikuti UN. Percayalah,dia akan baik-baik saja.”
Aku berlari meninggalkan Mr.Tarem. Aku ingin berlari sekencang-kencangnya. Aku ingin menghabiskan seluruh tenagaku. Sahabat macam apa aku ini? Kenapa ini terjadi? Kenapa tidak terjadi padaku saja? Pertanyaan ini memenuhi benakku.
Aku tak bisa melupakannya walau sedetikpun. Aku benar-benar khawatir. Dua hari lagi UN. Apakah semua ini karena aku? Aku sudah membentaknya saat di kantin.
Sebenarnya aku tahu kalau Ja’far memakai alat pacu jantung. Maka dari itulah aku merasa bersalah. Bagaimana mungkin aku marah hanya karena ketidak sengajaan sahabat sendiri. Dan aku tidak memedulikan kesehatannya. Padahal,saat dia sedang sakit sekalipun, dia masih tetap memikirkanku. Betapa kejamnya aku. Aku menyesal. Sungguh menyesal, bahkan teramat menyesal. Aku berjalan gontai memasuki pagar rumahku. Sepi. Papa sedang bekerja. Mama ada di halaman belakang. Aku menyusulnya ke belakang
“Ma,ngapain?”
“Mama jemuran.Ganti baju dulu.”
Aku pun segera masuk ke kamarku. Aku segera mengganti baju dan meencuci tangan dan kaki. Aku kembali menyusul Mama.
“Mama sudah selesai belum?” Ujarku sambil memindahkan pot-pot yang ada di atas tangga ke bawah.
“Belum. Ayo bantuin Mama!”
“Siap,Ma! Tapi,Aku tidak bisa lama-lama bantuin Mama. Dua hari lagi,kan ada UN. Aku mau mulai belajar malam ini.” Jawabku.
“ Iya,belajar yang bener,ya! Semangat untuk Fatih!”
Aku tertawa kecil. Meski sebenarnya candaan Mama tidak lucu. Aku berusaha menutupi kegelisahan hatiku. Aku tidak ingin Mama mengetahuinya. Tapi,semakin Aku menutup-nutupinya, semakin Aku memikirkannya. Aku sangat merasa bersalah pada Ja’far. Aku jelas-jelas tidak mau belajar untuk UN. Aku hanya ingin menenangkan sedikit hatiku. Semoga setelah ini, Ja’far baik-baik saja.
Ternyata,Aku salah. Dia tidak marah padaku. Penyebab dia sakit,tidak ada hubungannya denganku. Aku tidak seharusnya mengkhawatirkannya berlebihan. Seharusnya,Aku lebih mengkhawatirkan diriku sendiri.
********************************
Hari ini,Tidak ada yang mengajakku mengobrol dan menemaniku. Hari ini libur sekolah. Aku memang tipe anak yang Introvert. Aku hanya merasa nyaman jika berteman dengan anak yang memang benar-benar cocok denganku. Ja’far dan Umar adalah satu-satunya orang yang mengerti perasaanku.
Lima belas menit kemudian,Umar menghubungi ponselku dengan terburu-buru. Aku tidak menyadarinya,karena Aku menghadap kearah jendela kamarku. Kamarku memang ada di lantai dua. Ponselku sedari tadi aku pindah ke mode getar. Aku baru menyadarinya ketika aku berbalik badan. Aku menjawabnya. Dia menelephon menggunakan video call.
“Hey,Tih! Ngelamun,ya? Mikirin apa?”
Aku mengamatinya dari layar ponsel. Berantakan sekali penampilannya. Bahkan bajunya belum di kancing, dan juga rambutnya tidak di sisir.
“Sudah mandi belum?” Tanyaku jahil
“Jelas sudah,dong! Kenapa Kamu melihatku seperti seonggok tisu tidak berguna?” Jawab Umar pura-pura marah.
“Oh,iya. Gimana kabar Ja’far? Dia sudah baikan,kan?”
“Sudah. Kamu enggak usah mikirin dia lagi,deh. Kan sudah ada aku disini.”
“Kok kayak adegan film romance,ya? Hhhhhh,Jijik!”
“Oh,kemarin ada materi UN atau PR,gak?”
“Materi UN ada. Kalau PR nggak ada.”
“Nanti siang belajar bareng,yuk!”
“Tumben,mau belajar?”
“Mau atau enggak nih?”
******************************************
Siang ini,Aku bersiap ke rumah Umar. Aku memasukkan buku-bukuku,lantas bejalan menuruni tangga. Aku sudah izin ke Mama. Memberi salam,lalu membuka pintu dan keluar. Aku berjalan menaiki angkot ke rumah Umar. Dia sudah memberikanku alamatnya saat di telephone tadi pagi. Mamang angkot berteriak-teriak ke orang-orang yang ada di pinggir jalan. Menawarkan jasa pengantarannya. Aku sudah langganan dengan Mamang angkot ini. Dia sering mangkal di depan kompleks rumahku. Tidak jarang pula,aku berangkat sekolah menumpang angkotnya. Papa jarang di rumah. Lembur katanya.
Saat aku meminta Mamang Angkot berhenti di alamat yang Umar berikan,Aku terkejut karena rumahnya besar sekali. Entah ini mimpi atau bukan.
“Nak,ini rumah teman Kau,bukan? Apa jangan-jangan teman Kau ini tipu-tipu? Besar kali lah,rumahnya! Macam lapangan Glof saja!”
Sebenarnya,Aku ingin tertawa mendengar ucapan Mamang Angkot tadi. Dia sampai salah mengucapkan lapangan Golf menjadi lapangan Glof. Tapi,Aku teralihkan dengan rumah besarnya Umar. Tapi,kalau Umar memiliki rumah besar seperti itu,kenapa hampir setiap hari dia terlambat kesekolah? Aku turun dari angkot,dan membayar kepada Mamang tadi. Dia sudah sibuk teriak-teriak kepadaku kapan mau turun dan membayar.
Aku kembali berjalan ke rumah Umar. Ada Security disana. Aku meminta izin masuk ke Security dengan surat izin dari Umar yang dikirimkan lewat ponsel. Ketat sekali penjagaan di umah Umar. Gumamku dalam hati.
Sebenarnya, Aku baru pertama kalinya pergi ke rumah Umar. Aku tidak menyangka kalau rumahnya akan sebesar ini. Aku terus melangkah ke dalam rumahnya.
Aku disambut dengan lantai pualam dan lampu gantung yang indah di atasnya. Dindingnya dari bahan terbaik di dunia. Pegangan tangganya terbuat dari kayu jati kokoh dengan ukiran indah. Banyak foto-foto di dinding bangunannya.
Kalau tidak salah melihat, Itu pastilah foto milik Umar dan keluarganya. Aku berhenti sebentar karena ada seorang pelayan yang berlari tertatih kellahan menuju kearahku. Dia berkata kalau Umar memintaku untuk mengikutinya. Aku hanya menurut dan mengikutinya dari belakang. Dia hanya mengantarkan sampai didepan kamar Umar. Pelayan itu mengatakan,ketuk pintunya tiga kali tepat di tengah pintu. Dia mengatakan,jangan mengetuk lebih dari tiga kali, dan harus mengetuknya tepat di tengah.
Aku hanya menurut. Aku mengetuk pintu yang sangat besar itu tiga kali dengan keras. Mungkin saja saking besarnya pintu ini,suara ketukanku tidak terdengar. Pintu besar itu perlahan-lahan terbuka. Dan keluarlah Umar dengan kaos Oblong berwarna biru miliknya. Penampilannya tidak berubah sejak pagi. Padahal pelayannya memakai jas dengan dasi yang sudah disetrika dengan rapi.
“Sudah mandi belum” tanyaku jahil
“Ya ampun. Memangnya tidak ada topik lain yang lebih menarik?”
Aku melangkah masuk dan duduk di atas kursi berwarna Merah. Sepertinya,keluarga Umar menyukai arsitktur yang Klasik. Aku mulai mengobrol dengan Umar tentang eskul bola Voli yang kita ikuti. Akan ada pertandingan Voli. Kami akhirnya mulai belajar sambil mengobrol santai. Kamar Umar sangat bersih. Sangat jauh berbeda dari orangnya. Pastilah pelayannya rutin membersihkannya. Tak lama setelah itu,jam milik Umar berbunyi. Aku bertanya ada apa. Dia menjawab itu hanya Alarm dari jamnya. Dan saat inilah,cerita sebenarnya dari hidupku,dimulai.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus banget ceritanya