Alanis Salsa Dewi

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Sudahkah Mizan Sampai?

Sudahkah Mizan Sampai?

“Cepat sedikit, nanti keburu siang!” kata wanita setengah baya sambil mengetuk pintu kamar.

“Iya.. sebentar lagi…!” terdengar suara yang tak begitu jelas dari dalam kamar itu.

“anak ini sungguh keras kepala, sukanya tergesa-gesa” kata wanita itu menggerutu.

Tak lama kemudian terlihat seorang gadis keluar dari balik pintu yang hendak rapuh itu. Rambutnya dibiarkannya terurai agar sang bayu dapat membelai mesra. Bulu mata lentiknya sering kali membuat iri gadis-gadis seumurannya, apa lagi melihat pipinya yang berlesung, seolah-olah membuat dirinya tampak sempurna di mata mereka. “Rani” begitulah orang-orang memanggil gadis cantik itu. Tak lama kemudian mata sipit gadis desa ini terbelalak pada salah satu ruangan di depannya.

“Sudahkah Mizan sampai?” tanya gadis itu sembari membenarkan sepatu hak tinggi yang dihadiahi almarhum Ayahnya.

“Sudah lima belas menit dia menunggu di luar!” jawab wanita setengah baya sambil membenarkan jilbabnya.

“Oh, Ibu, kenapa tidak menyuruhnya masuk?”

“Entah berapa kali Ibu mengulang kata yang sama agar dia mau masuk ke gubuk kita, calon suamimu itu memang dasarnya sombong atau pura-pura sombong?” Ibu sedikit kesal.

“Ah ibu, Kang Mizan tidak seperti itu, mungkin dia ingin mencari udara segar!” gadis itu pun membela kekasihnya.

“Ya sudah, kau temui dulu Nak Mizan, lama sudah dia menunggu!” kata Ibu sambil menepuk-nepuk pundak anak gadisnya.

Gadis cantik tersebut kemudian menemui calon suaminya yang sedang mondar-mandir di halaman rumahnya.

“Kang Mizan!” sapa gadis itu.

Pemuda itu seolah tersihir ketika melihat kekasihnya yang kian hari kian memancarkan pesona kecantikannya.

“Adek sudah siap?” tanya pemuda itu.

“Maaf, sudah membuat Akang menunggu lama!”

“Tidak apa-apa, Ibu kemana? Kita berpamitan dulu!” ungkap Mizan.

Setelah berpamitan, mereka pun pergi memesan segala perlengkapan untuk pernikahan mereka.

Hari ini memang hari yang spesial untuk kedua pasangan yang sebentar lagi hendak memadu kasih ini. Pasalnya, selama ini mereka hanya bisa bertegur sapa menggunakan telepon. Namun tidak untuk hari ini, kebahagiaan tersendiri hadir ketika mereka saling bertatap muka lantaran Mizan benar-benar telah menjadi lelaki yang super sibuk. Selama bertahun-tahun hidup dalam kondisi tak berkecukupan, ia pun memutuskan merantau ke Sumatra. Tiga tahun lamanya Mizan bekerja paruh waktu untuk menunjukkan bahwa dirinya mampu mengubah keadaan ekonomi keluarganya. Dia juga ingin membuktikan pada keluarga kekasihnya itu bahwa dia benar-benar telah matang untuk menjadi seorang kepala rumah tangga. Kenyataannya, sekarang dia dapat merenovasi rumahnya di Cirebon, selain itu dia mampu membeli mobil bekas untuk mempermudah aktivitasnya.

“Akhirnya, selesai juga” kata Rani sembari mengusap keningnya dengan selempai yang ia beli beberapa hari lalu.

“Satu bulan lagi kita benar-benar akan menikah, Akang sangat senang, tapi Akang juga deg-degan!” ungkap Mizan dengan wajah berseri-seri.

“Adek juga demikian, semoga perasaan Kang Mizan pada Rani selalu seperti ini, tak berubah sedikitpun!” kata Rani berharap.

Kedua pasangan ini pun kemudian memutuskan untuk kembali setelah seharian mempersiapkan perlengkapan pernikahan mereka.

Undangan pernikahan Kembang Desa dengan Mizan, pemuda miskin yang mendadak kaya pun telah tersebar. Beberapa hari berlalu, Seseorang mengirimkan beberapa bunga dengan ikatan pita hitam. Hal tersebut berlangsung setiap hari. Bu Wastu, Ibu Rani sangat senang ketika putrinya mendapat kiriman bunga-bunga indah.

“Nak Mizan sangat romantis!” begitulah kalimat yang berkali-kali diucapkan oleh Bu Wastu.

Sebaliknya, Rani merasa gelisah dengan kiriman bunga tersebut. Pasalnya, ketika ia berterima kasih pada kekasihnya itu, justru sang kekasih keheranan.

“Akang tak pernah mengirimkan ikatan bunga dek!” begitu jawab Mizan ketika Gadis cantik asal Cirebon itu bertanya dengan polosnya.

Lama kelamaan Rani merasa terusik dengan kiriman bunga itu.

“Dari siapakah bunga-bunga ini?” tanda tanya besar muncul pada diri Rani.

Bunga yang sama dengan ikatan yang sama setiap hari dikirim melalui pos. ketika tukang pos itu ditanya, dari siapa kiriman itu, jawabnya selalu.

“Saya hanya menjalankan tugas yang semestinya saya kerjakan!”

Kemudian izin untuk mengantar paket-paket yang lain. Saat Rani mencoba menebak, saat itu pun ia selalu gagal.

“Jika bukan Kang Mizan, lalu…?” pikirannya melayang pada beberapa tahun yang lalu ketika ia masih bersama pacar pertamanya.

Ansel, dialah orang pertama yang dapat merebut hati kembang desa ini. Bagaimana tidak, pemuda ini dikenal bijaksana oleh semua orang.

Selama tiga tahun, Rani dan Ansel menjalin kasih. Ansel, anak seorang Kepala Daerah, meskipun berkecukupan namun ia tak pernah merasa sombong. Pasangan ini sebenarnya saling mencintai, namun apalah daya, takdir berkata lain. Keluarga Ansel terlibat kasus korupsi sehingga membuatnya shock dan ia pun menghilang beberapa tahun tanpa memberikan kabar pada orang-orang terdekatnya, termasuk kekasihnya.

Rani sempat patah hati dan kehilangan akal sehat ketika Ansel meninggalkannya. Hari berganti hari, tahun berganti tahun, kehidupan baru datang pada diri Rani. Ia merasa cintanya digantung oleh Ansel, lalu dengan bijak ia memutuskan untuk berpindah ke lain hati. Sebenarnya sangat berat jika dia harus meninggalkan cinta pertamanya itu, namun ia juga tak sanggup jika menjalani hubungan tanpa status. Mizan lah orang yang berhasil membuat taburan bunga-bunga sakura pada perjalanan cinta Rani. Sekejap, namun meninggalkan keindahan yang terus bersemi di hati Rani. Itulah Mizan, pemuda tak berkecukupan yang berhasil mengubah ketidakcukupannya.

“Apakah A Ansel yang melakukan semua ini?” pikiran Rani penuh dengan tanda tanya.

“Jika semua itu benar, lantas mengapa dia melakukan semua itu?”

Rani pun teringat lagi akan sesuatu.

“Kau tahu mengapa aku memberikan pita merah ini?” tanya Ansel.

Rani menggelengkan kepala.

“Pita merah akan terlihat indah, apalagi jika kau yang memakainya, terutama disini!” kata Ansel sembari mengikatkan pita merah pada rambut Rani.

“Aku tidak akan memberikanmu pita hitam ini!” sambil memperlihatkan salah satu pita yang ia bawa.

“Kenapa?” tanya Rani.

“Karena hitam adalah simbol kebencian!” kata Ansel.

Rani terbangun dari lamunannya untuk kedua kalinya.

“Bunga itu…!” Rani teringat akan sesuatu, ia pun berlari melihat bunga-bunga yang telah seseorang kirimkan kepadanya.

“Pita hitam!” gumam Rani dengan tubuh gemetar.

“A Ansel sudah mendengar berita pernikahanku!” kata Rani lemas.

Bu Wastu yang melihat tingkah aneh putrinya kemudian menghampiri.

“Ada apa nak?” tanya sang Ibu.

“A Ansel bu!” gumam Rani.

“Ansel anak Koruptor itu? Ada apa dengannya?” tanya Bu Wastu.

“Dia sudah tahu bahwa aku akan menikah!” jawabnya lemas.

“Lantas?”

Rani kemudian duduk dan mengambil salah satu bunga pemberian orang tak dikenal itu.

“Ibu tahu bunga ini dari siapa?“ Rani bertanya dengan mata berkaca-kaca.

“Kau ini masih saja bertanya, tentu saja dari calon menantuku!” Bu Wastu tersenyum senang.

“Ini bukan dari Kang Mizan Bu, pita hitam ini berarti simbol kebencian, aku takut hal buruk terjadi pada pernikahanku!”

Bu Wastu yang melihat putrinya bersedih kemudian mencoba menghiburnya.

Dua minggu sebelum hari pernikahan, Mizan berkata pada Rani bahwa ia akan pergi sebentar ke Sumatra untuk mengurus pekerjaannya. Ia pun berjanji pada gadisnya bahwa ia tak akan lama, hanya membutuhkan waktu tiga hari untuk bisa kembali ke Cirebon lagi. Rani tak bisa mencegah kepergian Mizan karena itu juga untuk kebaikan Mizan dan keluarganya.

“Akang berjanji, hanya tiga hari saja!” itulah kata-kata yang membuat Rani terpaksa membolehkan Mizan pergi.

Bunga dengan ikatan pita hitam terus membanjiri rumah keluarga Rani.

“Dari siapakah sebenarnya bunga itu?” Bu Wastu mendesak tukang pos tersebut, baru kali ini Bu Wastu marah, sebelumnya Ibu dua anak ini tidak pernah menampakkan kemarahannya di depan orang lain kecuali keluarganya sendiri.

Tukang Pos itu menjawab.

“Saya benar-benar tidak tahu nama orang yang mengirimkan ini, jika anda mau saya akan mengantar anda pada pengirim bunga ini!”

Rani yang ketika itu sedang termenung dengan mata berkaca-kaca kemudian mendekati tukang pos itu.

“Tolong antarkan saya pada orang itu!” Rani memohon.

Tukang pos itu merasa iba melihat gadis cantik itu memohon penuh harap.

“Mari!” tukang pos itu membawa Rani ke tempat pengirim bunga tersebut.

“Di sana tempatnya!” kata tukang pos sambil menunjuk ke sebuah taman.

“Di balik pohon besar itu ada tempat duduk, dia biasanya sering duduk-duduk di sana!”

Rani pun berjalan pelan menuju tempat yang ditunjukkan oleh tukang pos tersebut. Dari kejauhan tampak seorang lelaki sedang duduk sendirian di balik pohon itu. Rani terus berjalan penuh penasaran, hingga akhirnya sampailah ia tepat di belakang pemuda itu.

“Siapa anda?” tanya Rani.

Pemuda itu terkejut ketika mendengar suara yang tak asing lagi baginya.

“Rani!” Pemuda itu mencoba menebak.

Rani kemudian menghampiri pemuda itu. Alangkah terkejutnya ia ketika melihat wajah pemuda itu. Dugaannya selama ini memang benar. Ansel, cinta pertamanya yang mengirimkan semua itu padanya.

“Apa kabar?” sapa Rani.

“Sedang apa kau kesini?” tanya Ansel tanpa melihat Rani sedikitpun.

“Seharusnya aku yang bertanya demikian, sedang apa kau disini sendirian!” kata Rani.

“Bukan urusanmu!” kata Ansel singkat.

“Kau kan yang mengirim bunga berpita hitam itu?” tanya Rani.

Ansel tak menghiraukannya.

“Kenapa?” tanya Rani.

“Karena aku membencimu!” jawab Ansel dengan pandangan mata jauh ke depan.

Rani menghela napas kemudian duduk di samping pemuda itu.

“Bertahun-tahun aku berusaha mencarimu, tapi apa? Setelah aku menemukanmu, aku jadi tak ingin bertemu denganmu lagi!” ungkap Ansel.

“Apa maksudmu? Bukankah kau yang meninggalkanku? Pergi tanpa memberikan kabar sedikitpun, menggantungkan cintaku selama beberapa tahun?” kata Rani.

Ansel masih tetap tak mau melihat Rani yang ada di sampingnya itu.

“Aku tak seperti yang kau pikirkan! Sekian lama batinku tersiksa karena aku tak melihatmu, tak mendengar suaramu!” Ansel pun berdiri dari tempat duduknya.

“Mau kemana?” tanya Rani.

Ansel berjalan tertatih-tatih bagaikan tak tau arah. Tangannya menggenggam seolah-olah ingin mematahkan sesuatu. Pandangannya tampak seperti orang yang sedang melamun. Ketika berjalan ia pun terjatuh di tanah. Rani segera menolongnya, Ansel pun menepiskan tangan Rani yang berusaha menolong Ansel.

“Lepaskan!” Ansel melanjutkan kembali perjalanannya hingga sampailah ia pada jalan raya.

Rani terus mengikutinya dari belakang namun sama sekali Ansel tak memperhatikan Rani.

Ansel menyebrang jalan dengan pandangan kosong, seorang pengemudi mobil membunyikan klakson agar Ansel tidak menyebrang ketika mobil sedang melaju, Ansel tak menghiraukan hingga akhirnya ia hampir tertabrak karena kecerobohannya. Pengemudi itu memarahi Ansel dan ia pun mengabaikannya. Rani terkejut dan meminta maaf pada pengemudi itu.

“Lain kali kalau menyeberang itu dilihat donk!” pengemudi mobil pun segera meninggalkan mereka berdua.

“Apa kau buta? Berjalan saja tidak becus, meskipun sepi tapi ini tetap jalan raya!” Rani terlihat marah.

Ansel pun bergumam.

“Aku..!” wajahnya tampak pucat pasi.

“Aku memang buta!” kata Ansel.

Mendengar kata-kata tersebut tubuh Rani lemas seketika, ia bagaikan tersambar halilintar. Rani melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Ansel namun ekspresi Ansel tetap seperti orang melamun.

Tak lama kemudian seseorang datang dan menjemput Ansel. Rani masih diterpa ketidakpercayaan yang mendalam. Ia meminta kejelasan tentang pacar pertamanya tersebut. Ternyata beberapa tahun yang lalu, ketika Ansel berusaha kabur, sebuah kecelakaan terjadi sehingga membuatnya koma begitu lama dan harus kehilangan penglihatan. Ia tak tau ia berada di mana dan dengan siapa. Semua data-data tentangnya lenyap dalam peristiwa itu. Kata-kata yang diucapkan ketika kali pertama ia bangun dari komanya adalah “R-a-n-i”.

Rani pun pulang dengan perasaan bersalah. Ia terlalu berburuk sangka pada cinta pertamanya itu. Sementara itu, pernikahan antara Mizan dengan dirinya tinggal menghitung hari.

“Apa yang telah aku perbuat?” ia menangis seharian di kamarnya.

“Aku tak tahu jika semua itu terjadi padanya!” Rani kembali menangis.

Berkali-kali HP Rani berdering namun ia tak menjawabnya. “Mizan” ternyata lima panggilan tak terjawab ada di layar HPnya. Rani sedang dalam dilema dan dihantui perasaan bersalah yang begitu besar. Ia tak dapat membayangkan jika bertahun-tahun Ansel berusaha mencarinya namun sekarang orang yang berusaha dicarinya telah menjadi milik orang lain.

Sesuai dengan janji Mizan. Dia benar-benar kembali ke Cirebon dalam waktu tiga hari. Rani sama sekali tak mengangkat telepon darinya kemudian ia menemui calon istrinya karena khawatir.

“Ada apa denganmu?” tanya Mizan.

“Tidak ada apa-apa Kang, hanya sedikit kurang enak badan!” jawab Rani.

Mizan kemudian meminta Rani untuk istirahat terlebih dahulu karena sebentar lagi mereka akan menikah, jadi harus benar-benar menjaga kondisi tubuh agar tidak sakit ketika hari pernikahan tiba. Rani pun menuruti permintaan calon suaminya.

Satu hari sebelum hari pernikahan, Mizan mencoba menutupi kegugupannya dengan berjalan-jalan di sekitar tempat tinggalnya. Seseorang menghampirinya dan meminta waktu luang padanya. Ternyata itu adalah orang yang merawat Ansel selama ini. Orang tersebut menceritakan semuanya kepada Mizan tentang kisah cinta Rani dan Ansel yang terpisah karena kekejaman takdir. Mizan bertanya, mengapa orang tersebut menceritakan semua itu padanya. Walaupun begitu Mizan juga tidak akan melepaskan gadis yang telah dicintainya itu. Orang tersebut berkata.

“Aku hanya ingin kau mengerti, tak ada maksud apa pun!”.

Hari pernikahan tiba. Semua keluarga mempelai terlihat sangat sibuk. Rani tampak cantik menggunakan pakaian pengantin. Keluarga Rani dan keluarga Mizan sedang menunggu kedatangan mempelai pria untuk melaksanakan akad nikah.

“Mengapa nak Mizan lama sekali?” tanya keluarga mempelai wanita.

“Iya, Mizan itu ada-ada saja, masa cincin yang disini menjadi hal terpenting bisa sampai ketinggalan?” kata keluarga mempelai pria.

Tak lama kemudian terdengar kabar bahwa pengantin pria mengalami kecelakaan ketika sedang perjalanan menuju kediaman pengantin wanita. Semua orang yang hadir di acara pernikahan pun terkejut. Rani yang masih berada di kamar pengantin tidak mendengar kabar apa pun. Ibunya dengan wajah pucat membuka pintu kamar pengantin.

“Ibu, Sudahkah Mizan sampai?” tanya Rani.

Ibunya menceritakan apa yang terjadi pada Mizan, mendengar hal tersebut, Rani langsung pingsan.

“Mengapa ini bisa terjadi?” keluarga Mizan dan keluarga Rani segera pergi ke rumah sakit.

Ketika sampai disana.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji'un!” kata salah satu keluarga Mizan.

Semua anggota keluarga menangis histeris.

“Sudilah kiranya keluarga yang ada di sini memaafkan semua kesalahan almarhum Mizan, semoga ia dapat diterima di sisi Tuhan Yang Maha Esa!” kata Ayah Mizan sembari meneteskan air matanya.

Beberapa Tahun kemudian.

“Rani sayang, makan dulu nak, Ibu sudah memasak ayam kesukaanmu!” sambil membuka pintu kamar Rani.

Seketika Rani bertanya “Sudahkah Mizan sampai?” begitulah yang ia katakan setiap kali seseorang membuka pintu kamarnya, sambil menyisir rambutnya yang kian hari kian menggimbal dan matanya yang sembab.

Dan berteriak histeris setiap melihat dirinya berada di dalam cermin. Rani Kirana, Sang kembang desa kini menjadi gadis keterbelakangan mental.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post