Sepenggal Kenangan Saat G30S PKI
”Kau dan aku, jangan jadikan pertempuran ini sebagai bongkahan batu besar yang menghalangi kita untuk melihat masa depan. Aku yakin, Aya, kamu pasti bisa bertahan di G30S PKI ini. Suatu hari nanti kau akan bebas. Aku sangat yakin itu.”
Aku hanya bisa tersenyum miris. Hari ini tepat tanggal 30 September, hari dimana 57 tahun yang lalu, kita menjalani takdir secara masing-masing.
—
1965, di kamp konsentrasi PKI.
“Berikan hormat kepada Letkol Untung!” ucap seorang anggota PKI yang kutaksir berusia 32 tahun kepada anggota PKI lainnya.
Aku, beserta 3.000 wanita lainnya hanya bisa diam dalam barisan, menunggu apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh para PKI yang tidak mengenal apa itu cinta dan kasih sayang.
“Agunglah Letkol Untung! Sekarang saatnya anda menghadap ketua untuk laporan hari ini. Saya diperintahkan untuk menggantikan Anda untuk sementara waktu.” ucap anggota Pemuda Rakyat yang kutaksir umurnya sekitar 27 tahun.
Hei aku kira di kamp di sini hanya diisi oleh orang-orang tua seperti Untung dengan banyak kerutan dimana-mana. Aku mengamati anggota yang satu ini, sepertinya dia sama saja seperti yang lainnya. Hanya bisa membentak, memukul, meludahi orang yang sama denganku.
”Semuanya! Cepatlah kalian ke ruang persenjataan dan buatlah 50 senjata untuk setiap orangnya! Hei kau! Apa kau tidak mendengarkanku hah?” bentak pemuda itu kepadaku.
Aku sudah kehilangan hampir seluruh energi di dalam tubuhku yang sudah seperti tulang yang dilapisi kulit. Aku hanya menengadah, menyadari bahwa pemuda itu sudah berada di depanku.
“Hapunten, kepalaku sangat pusing sekali.” ucapku dengan memegang kepalaku yang memang sangat pusing sekali.
Samar-samar kudengar bahwa pemuda tersebut menyuruh para tahanan wanita yang lain untuk langsung ke tempat pembuatan senjata-senjata. Aku tertawa dalam kemirisanku, jadi begini akhir hidupku? Mati secara tidak terhormat di kamp konsentrasi akibat serangan PKI ini?
“Ikutlah aku, akan kutangani kau sendiri. Cepatlah! Sebelum anggota-anggota yang lain melihat kita.” ucap pemuda itu sembari membantu aku untuk bangkit dan menuntunku keluar dari aula kamp konsentrasi itu dengan cepat.
Setelah sampai di suatu ruangan—sepertinya ruang kerja untuk para anggota Pemuda Rakyat—yang kosong, pemuda itu membuatkan teh panas dan menyerahkan sepotong singkong kepadaku. Untuk keadaan pemberontakan seperti ini, sepotong singkong bisa berubah rasanya menjadi makanan terlezat di dunia.
“Terima kasih banyak. Umm… sebelumnya, bolehkah aku menanyakan satu pertanyaan kepadamu?” Tanyaku ragu-ragu.
Salah bicara, nyawa sebagai gantinya.
“Punten.” ucapnya sambil mengambil tempat duduk di sebelahku.
“Aku rasa, kamu baru satu-satunya anggota Pemuda Rakyat yang terlihat sangat baik kepada seorang tawanan, sepertiku ini. Apakah ini salah satu dari akal-akalan kamu untuk membawaku ke penyiksaan yang lebih menakutkan lagi?”
Aku bisa melihat perubahan dari raut muka tampannya. Eh tunggu, apakah aku baru saja menyebutnya tampan?
“Jangan berpikiran negatif seperti itu secara cepat. Aku ingin jujur kepadamu, sebenarnya aku juga tidak suka berada di tempat seperti ini. Melihat penyiksaan kepada orang-orang yang tak bersalah. Aku merasa menjadi manusia yang paling hina di muka bumi ini,” ucapnya sembari menatap lurus ke bawah.
Aku sangat tersentak mendengar ‘pengakuan’ yang tiba-tiba dari seorang pemuda yang adalah seorang Pemuda Rakyat.
“Oh…”
“Ayahku adalah seorang kepercayaan Letkol Untung. Karena kesetiaannya kepada Letkol, dia sudah berjanji untuk menyerahkan anak laki-laki satu-satunya—yaitu aku sendiri—sebagai seorang Pemuda Rakyat. Dan disinilah aku, harus mematikan hati nuraniku dengan menembak mati, memukul, menggantung dan menggiring para tawanan ke ruang penyiksaan. Maafkan aku—para anggota Pemuda Rakyat—karena telah merampas hak hidup kalian. Aku sangat meminta maaf.”
Untuk pertama kalinya sejak aku memasuki Kamp Konsentrasi, aku melihat seorang anggota Pemuda Rakyat menangis dan meminta maaf atas perilaku yang sangat tidak manusiawi mereka terhadap kami.
Aku menaruh gelas yang berisi teh panas di sampingku dan menepuk punggungnya secara halus.
“Tidak apa-apa. Mungkin ini memang sudah takdir kami. Kamu tidak perlu merasa bersalah seperti itu. Kamu melakukannya karena perintah dari Untung, bukan? Sudah tidak apa-apa.”
“Terima kasih banyak. Setidaknya selama aku berada di sini, aku mempunyai seorang teman yang mau memaafkan aku sebagai seorang PKI. Oh iya, nama kamu siapa, nona manis?” tanyanya sambil menyodorkan tangan kanannya tanda memulai perkenalan.
“Chaya. Kamu bisa memanggilku Aya. Nama kamu sendiri?” Tanyaku malu-malu sembari menyambut perkenalannya.
“Mahija Hansa. Kamu bisa memanggilku dengan sebutan Mahija. Tetapi jangan memanggilku dengan nama itu ketika di luar sana. Itu bisa membahayakan kita berdua.” ucapnya sembari tersenyum hangat.
Kepalaku yang tadinya sangat pusing, berangsur-angsur pulih. Barulah bisa kulihat betapa indahnya ciptaan Tuhan yang satu ini. Mata cokelat secokelat pohon, hidung mancung, tulang pipi yang membuatnya terlihat gagah.
“Sepertinya kita harus cepat-cepat keluar dari sini sebelum anggota yang lain melihat kita.”
Mahija menggandeng tanganku dengan cepat dan keluar dari ruangan itu.
“50 senjata per orang, huh?” tanyaku lemah.
“Kamu pasti bisa, Aya. Aku sudah memperhatikanmu sejak kamu masuk ke kamp ini untuk pertama kali.” ucap Mahija sembari tersenyum hangat.
Kamu pasti bisa melewati ini semua, Aya. Ini semua akan berakhir.
—
Kabar tentang kedatangan tentara beberapa hari ini membuat para tahanan bersorak-sorai, tetapi tidak dengan para anggota PKI—lebih tepatnya, seluruh pengikut PKI—. Kedatangan para tentara ini berarti menghancurkan kejayaan Untung dan bersamaan juga menumbuhkan harapan hidup untuk para tahanan.
“Aya! Aya! Kita akan bebas! Kita akan merasakan kebebasan itu!” ucap temanku bahagia, Taruna namanya.
Aku hanya bisa tersenyum. Aneh rasanya, seharusnya aku bersukacita mendapatkan kabar seperti ini, tetapi ada bagian lain di dalam diriku yang merasa hilang.
“Mahija… ya! Mahija! Aku harus menemuinya sekarang!”
Segera aku berlari keluar dari tempat pengumpulan para tawanan dan segera mencari Mahija di sekitar ruang kerjanya.
Seketika itu juga aku mendengar suara ledakan dari ruang administrasi, disusul oleh suara tembakan yang menggemakan telinga. Tentara telah datang.
“Mahija!!! Mahija dimanakah kau?”
Terus aku berlari, menghiraukan segala sesuatu yang mungkin saja terjadi kepadaku. Aku terus mencari-cari Mahija di setiap sudut ruangan, tetapi nihil. Sudah mulai bermunculan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Aku segera menggeleng cepat.
“Tidak, Mahija pasti masih bertahan. Dia sudah berjanji bahwa dia suatu hari nanti akan menjalani masa tuanya di Jakarta yang penuh dengan kedamaian. AKU YAKIN KAMU MASIH HIDUP!”
Seketika ada tangan kekar yang menarik tanganku dan membawaku dalam pelukannya.
“Aku masih hidup, Aya, aku akan menepati janjiku.”
“Mahija… Mari, kita bersama-sama keluar dari sini.” ucapku sembari menangis.
Tubuh Mahija sudah penuh dengan debu, luka lebam, dan darah di sekitar tubuh dan mukanya.
“Ini hari kebebasanmu, Aya. Nikmatilah. Kebebasanmu adalah kebebasanku juga. Sekarang kumohon, pergilah bersama dengan tentara-tentara, mereka akan membawa kalian kepada kebebasan itu. Dan ini, aku titipkan cincinku ini kepadamu tanda kalau suatu hari aku akan datang untuk mengambil cincin ini daripadamu,” ucap Mahija sembari menyematkan cincin keberuntungan dia di jari manisku.
Dia hendak pergi sebelum aku mencegat tangannya untuk satu pertanyaan lagi.
“Berjanjilah padaku kalau engkau akan memenangkan pertempuran ini, Mahija.”
“Demi Jakarta dan kamu, Aya, aku berjanji.” ucapnya sembari mencium puncak kepalaku.
—
“Teh Chaya, hari ini adalah hari peringatan tentang berakhirnya pemberontakan antara para PKI dengan tentara, engkau tidak ingin mendatangi prosesnya?” tanya Taruna.
Ya, semenjak semuanya kembali normal, kami para tahanan sudah bisa menjalani kehidupan kami seperti warga-warga Jakarta pada umumnya. Aku tinggal bersama Taruna beserta keluarga kecilnya karena seluruh anggota keluargaku sudah tiada selama masa G30S PKI berlangsung.
“57 tahun yang lalu, Na, kita merdeka. Tetapi tidak dengan dia…” ucapku sembari meneteskan air mata dan mengelus-elus cincinnya yang ia pinjamkan kepadaku.
“Dia pasti sudah tenang di awan sana bersama dengan Tuhan. Dia telah memperjuangkan kita, para tahanan, dan juga untuk negaranya. Dia adalah seorang malaikat yang merangkap menjadi seorang manusia.”
Taruna memelukku untuk menenangkanku.
“Ya, dia adalah seorang yang seperti singa kelihatannya, tetapi lembut dalam hatinya. Itulah Mahija. Dia adalah pahlawan bagi kedua belah pihak, kita maupun Indonesia.”
Aku menolehkan kepalaku ke pohon di sampingku. Cokelat, mengingatkanku pada kedua mata indah Mahija yang selalu bisa meneduhkan hati bagi siapa saja yang melihatnya.
Ya, kita pasti akan bertemu lagi, Mahija. Di balik awan itu, aku yakin kamu sedang mengawasiku dan tersenyum karena aku masih menjaga dengan baik barangmu.
Aku bebas, tetapi tidak dengan hatiku.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar