Raniah
Aku masih di sini. Bersama dengan Raniah di sudut kantin sekolah. Tampak sekali sekitar kami sudah sepi. Yang memastikan bahwa hampir semua siswa SMK Yapari Aktripa sudah pulang ke rumah.
“Aku tak bisa, Daisy."
Itu adalah ucapan Raniah yang sudah dikatakannya lebih dari tiga kali sepanjang kami berbincang sejak bel pulang berbunyi tadi.
Kenapa? aku membatin.
“Kenapa?” aku bertanya hati-hati.
Ku amati lagi gadis yang duduk gelisah di hadapanku ini. Tak mengerti dengan jalan pikirannya yang selalu berbelit-belit. Apa sebenarnya dasar logis yang dimiliki Raniah sehingga ia menolak kedatangan cinta yang sudah lama diharapkannya?
“Aku tahu kamu sangat mencintainya, Raniah. Terlampau mencintai, malah. Jadi apa alasannya kamu menolaknya? Dia sudah datang untukmu!”
Hampir-hampir saja aku tak bisa menahan amarahku. Syukurlah ada angin yang berhembus melewati kami dan membuat kekesalanku sedikit berkurang.
Duh.. Raniah sungguh keras kepala! umpatku dalam diam.
“Aku… aku tak bisa, Daisy.. dan kamu tahu sebabnya kenapa.”
Ah… aku terhenyak ketika kudapati butiran kristal cair itu luruh dari kedua mata Raniah.
Ia menangis…
Habis sudah keberanian ku untuk mendesak Raniah yang keras kepala. Aku pun menunduk memandangi es kelapa di gelas Raniah yang tinggal setengahnya. Memikirkan apa yang seharusnya ku ucapkan lagi agar Raniah merasa lebih baik. Raniah mungkin saja benar. Dengan mengatakan bahwa aku tahu sebab dari pilihannya itu. Kenapa ia menolak kedatangan Brit dan malah memilih untuk menjauh darinya. Kukira sebabnya adalah karena Raniah merasa ia tak berhak untuk memiliki kebersamaan dengan Brit.
Brit sudah memiliki Linnas. Dan Raniah tak ingin merusak keharmonisan Brit dan keluarga barunya.
Dan lagi, ada neneknya yang tinggal seorang diri di rumah mendiang ayahnya. Bagaimana mungkin Raniah tega meninggalkannya sendiri? Akhirnya, Raniah pun memilih menolak permintaan Brit yang mengajaknya tinggal bersama. Aku tahu, Raniah mencoba untuk mengalah (lagi). Tapi tetap saja.
“Daisy, aku tak apa-apa. Aku akan baik-baik saja.”
Raniah tersenyum lemah. Mendengarnya berkata begitu, masih tak cukup meyakinkan diriku bahwa ia dalam keadaan baik-baik saja. Aku tahu hatinya pasti sedih sekali. Tapi apa yang bisa kulakukan lagi untuknya? Aku hanya sahabat yang hanya bisa mendengarkan. Tak bisa lebih dari itu!
Akhirnya aku pasrah. Biarlah Raniah dengan keputusannya itu. Hanya saja kuharap, ia bisa kembali ceria seperti Raniah yang kukenal dulu.
***
“Raniah…”
Aku terkejut ketika mendapati Brit yang tengah berjalan ke arah kami. Raniah spontan menoleh ke belakang. Butuh beberapa detik untuknya sebelum ia bisa menyahut panggilan Brit kepadanya.
“Mama…”
Brit tersenyum lembut mendengar suara Raniah. Sedikit ayunan angin di jilbab hitamnya membuat Brit tampak cantik sekali. Sementara di sampingnya, Linnas berjalan perlahan mengikuti Brit dan menatapku.
Aku diam.
Tiba-tiba saja merasa tak pantas berada di sini. Tapi aku tak bisa kemana-mana dikarenakan Raniah tadi segera memegang ku erat-erat. Akhirnya ku putuskan untuk diam saja.
“Pulanglah bersama mama, sayang. Ayo.”
Raniah tampak akan menangis lagi. Kali itu, Brit sudah duduk di sampingnya. Tangan kirinya masih memegang tangan Linnas agar tak pergi kemana-mana. Dan Linnas masih menatapku penasaran. Aku masih tetap memilih diam.
“Raniah pulang ke rumah nenek saja, ma.. tak apa-apa.”
Brit tersenyum sebentar sebelum akhirnya kembali bicara.
"Maafkan mama, Niah. Maafkan mama karena sudah meninggalkanmu bersama papa. Maafkan mama karena lebih memilih islam dibandingkan kalian, keluarga yang juga sangat mama cintai…”
Brit berhenti berucap. Terlihat matanya mulai memanas dan berkaca-kaca. Lalu, lanjutnya lagi..
“Tapi… mama tak pernah menyesal dengan keputusan mama tiga tahun lalu itu, sayang.. yang mama sesalkan adalah mama tak bisa membawamu serta bersama mama. Saat itu papa tak mengizinkan mama untuk membawamu.. ia tak mau kamu meninggalkan cinta kepada Yesus.. dan mama tak berdaya…”
Raniah tak bisa menahan buliran air matanya. Ia menatap Brit dengan pandangan penuh cinta. Ia tahu pasti bagaimana kesusahan yang dialami mamanya ketika dulu memilih berpisah dari papanya. Mamanya jatuh cinta kepada Islam. Yang akhirnya membuat pernikahan mereka harus diakhiri. Meski mereka masih sama-sama mencintai.
“Tapi kini..” lanjut Brit berkata.
“Kini papa sudah meninggal. Kamu bisa ikut dengan mama, Niah.. kita kembali bersama sebagai satu keluarga. Meski…”
Brit melirik sekilas ke arah Linnas. Batita 2 tahun itu tampak asyik melihatku. Dan ini membuatku sedikit jengah.
” …meski kini mama sudah memiliki keluarga baru. Tapi mama tetap mencintaimu, Raniah.. tinggallah dengan mama.. mama mohon…”
Brit pun tampak tak lagi bisa menahan air matanya. Ibu dan anak itu saling menatap dengan tangisan di pipinya. Saling memandang. Mengharapkan satu sama lain untuk saling memiliki.
Sementara aku?
Hampir saja aku menangis. Tapi tidak!
Aku tak bisa menangis…
Aku masih bergumul dalam haru dan kediamanku saat ini.
“Mama…” Raniah akhirnya berucap juga.
“Raniah sudah memaafkan mama. Raniah mengerti dengan pilihan mama. Raniah pun sangat mencintai mama. Tapi…”
Raniah diam sejenak.
“…Raniah harus bersama nenek. Kasihan nenek. Ia hanya tinggal seorang diri.”
‘Hancur’
Mungkin adalah kata yang tepat untuk menjelaskan hati Brit saat mendengarp enuturan Raniah itu. Sedikit banyaknya aku tahu, Brit berharap Raniah, putrinya mau ikut tinggal bersamanya dan juga mau menerima Islam seperti dirinya.
Tapi apalah daya. Raniah sudah sangat keras kepala (meneguhkan hatinya) untuk mengambil pilihan ini. Saat itu, Linnas masih menatapku penasaran. Tapi aku mengacuhkannya.
“Baiklah… mama mau menerima keputusanmu, nak.. tapi mama sangat berharap Niah kelak bisa tinggal bersama mama.”
Raniah melihat mendung dan kecewa itu di mata Brit. Kami sama-sama melihatnya. Aku tahu, Raniah pasti merasa sangat bersedih juga dengan keputusannya ini. Sehingga sejenak kemudian, dalam tempo yang cukup lambat, ia kembali berkata.
“Meski Niah tidak tinggal bersama mama…”
Raniah terdiam lagi dan terlihat seperti meneguhkan hatinya untuk bisa melanjutkan ucapannya.
“…Niah bersyukur karena Niah juga bisa jatuh cinta pada pilihan mama tiga tahun lalu.”
Brit terpana. Aku juga. Linnas tampak kebingungan menatap ke mamanya dan Raniah.
“Alhamdulillah…” ucap syukur Brit saat memeluk Raniah.
“Alhamdulillah…” ucap Raniah untuk semua kebaikan yang dialaminya di hari itu.
Aku terharu. Aku berharap bisa menangis bersama ibu dan anak itu. Mensyukuri lahirnya keimanan baru yang merengkuh kehidupan baru Raniah. Merubah segalanya jadi indah pada akhirnya. Tapi lagi-lagi aku hanya bisa diam.
“Tak Laniah..” suara mungil Linnas terdengar lembut.
Brit dan Raniah melepas pelukannya dan beralih melihat Linnas.
“Boneta telintina lutu. Namana ciapa? Buat Linnas ya?”
Aku beralih menatap Raniah. Ia tersenyum mengangguk dan kemudian berkata dengan senyum penuh di wajahnya. Membuatku tak kuasa menahan senyumku juga.
“Namanya Daisy… dan kamu bisa memilikinya. Daisy adalah sahabat yang sangat baik. Mama Brites yang kasih Daisy buat kakak..”
Aku tersenyum.
Ku bagi pula senyuman itu untuk ketiga orang perempuan di hadapanku. Perlahan Raniah melepas pegangan tangannya dariku dan tiba-tiba saja aku sudah ada dalam pelukan tangan mungil Linnas. Saat itu, kurasakan bahagia yang tak ada kiranya. Dan aku tahu pasti, ini semua disebabkan oleh satu hal.
Cinta Keluarga.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
MaasyaAllah.... Nice!
Jazakallah Khair
Aamiin wa iyyaki