2. Uang kejujuran (Bagian 1)
“Aku duluan yang mengambil cumi ini lebih dulu!” Sigit menyergah.
“Kau meningalkan, itu berarti kau tidak memilikinya” Sepupuku Sara membalas.
“Tadi aku hanya ke dapur sebentar, lalu langsung kembali” Sigit tak mau kalah.
“Siapa cepat dia dapat” Sara meletakkan cumi itu dipiringnya.
“Tidak seperti itu! Aku lebih dulu” Sigit memindahkannya kepiringnya.
“Hei! Bisakah kalian berhenti? Kami tidak bisa menikmati makan dengan tenang jika kalian terus seperti ini!” Qaila mengomel.
“Ah! Kalian perempuan sama saja, tidak bisakah kalian diam dan mengalah? Kalian harus menghormati kami karena kami pemimpin” Manaf membela Sigit.
“Sebenar nya sampai kapan sih? Kalau tidak ada yang makan untukku saja” Aku mencomot cumi dari piring sigit dan memakannya santai.
“Tidakkkk!! Cumi ku!” Sigit loncat dari meja makan
“Apa salahnya? Semua nya sama saja” Aku menjawab santai
Dia bersiap memukulku, bersekongkol dengan Manaf. Tapi dua jariku sudah lebih dulu menghantam lengan mereka, mencubit nya tiada ampun. Mereka meringis kesakitan. Sara dan Qaila sejak tadi terbahak. Sigit dan Manaf dengan ekspresi wajah mereka yang mentapku seolah mengatakan, Kejam sekali manusia ini. Aku tersenyum,merasa menang.
Kami memakan masakan Lek Tira, Adik kandung Mamak. Pertengkaran tadi telah usai beberapa menit yang lalu, setelah aku mencubit dua anak nakal itu, mereka telah diam dan menghabiskan makanan dengan bibir monyong kedepan. Setelah makan, Mereka berempat langsung kabur, tanpa perlu merasa merapihkan alat makan mereka, setidaknya taruh ditepat cuci piring. Aku yang melihat mereka kabur, melirik Mamak dan Bapak yang asik berbincang bersama Lek Tira dan Paman abyaz (Suami Lek Tira yang asalnya memang Jakarta). Syukurlah, Aku bernapas lega, hendak kabur juga agar tidak disuruh merapikan alat makan. Aku berjinjit hendak memasuki kamar tempat mereka berempat berkumpul. Baru hendak memasuki kamar.
“OE! OE! OE!” Suara tangisan bayi terdengar
Aku menoleh kearah Lek Tira. Sesuai dugaan. Ia langsung sigap berdiri dan berjalan diiringi Mamak dengan wajah sok serius. Mereka melewatiku yang ada didepan pintu, membukakan pintu untuk mereka. Saat aku hendak masuk untuk yang kedua kalinya.
“Bereskan alat-alat makan, cuci semua piring. Hati-hati! Jangan sampai pecah, itu piring mahal!” Mamak menyuruhku.
Bahkan disaat sedang berlibur, aku pun yang disuruh? Aku saja terus. Aku mendengus kesal.
“Haha, tidak mahal sama sekali Mbak. Biarkan saja dia masuk, nanti biar aku yang mencuci nya, atau biar saja Abyaz yang mencuci” Lek Tira menyelamatkan jiwa ku
“Tidak Ra, dia harus belajar. Cepat cuci!”
Baru saja aku hendak masuk sudah kembali disuruh, sekarang tidak ada yang bisa menyelamatkan ku. Bahkan ketika aku bersikeras ingin Sigit membantuku, Mamak malah tatap (Hanya) menyuruhku. Nasib.
Aku mecuci piring dengan hati yang masih kesal. Kesal nya sangat kesal. Bukan karena disuruh Mamak, namun mengapa pula Sigit tak (Di perbolekan) membantuku? Tidak masuk akal. Tapi kuusahakan ikhlas, agar aku dapat pahala dan Mamak tidak dosa.
“Sekarang kau kelas berapa?”
Hei! Bisakah salam pembuka dulu atau apalah dulu? Hampir saja aku melempar panci ber merk Panasonic itu.
“Lima Paman” Aku berusaha senormal mungkin.
“Ooo, Ingin Kubantu?” Tanya nya
Aku menggeleng, namun raut wajah ku justru ber ekspresi, Ya! Bantu aku sampai selesai Paman, kumohon.
“Baiklah”
Aku antusias tersenyum semangat. Akhir nya tangan ku bisa beristirahat.
“Kau memang anak yang rajin” Ucap Paman Abyaz ganjil
Aku mengangguk, walau tak faham maksud perkataan terakhirnya. Aku juga kembali mencuci, berharap sekali Paman Abyaz akan membantuku mencuci. Nihil! Lepas dia melihat ku kembali mencuci, dia pergi. Nasib sudah. Selepas aku mencuci piring, aku masuk kekamar adik bayi. Adik bayi sudah tertidur pulas, aku menciumi pipinya dengan gemas, rasanya jika boleh ingin sekali aku menumbuk nya seperti biji kopi.
Aku bosan. Sudah sejak tadi tidak ada yang bisa kukerjakan dirumah ini, hanya celingak-celingukan. meihat anak-anak kecil yang bermain kesana-kesini. Rata-rata bermain permainan yang kumainkan di Desa juga. Seperti gerobak sodor, benteng, petak umpet, kena jaga, polisi maling, dan lainnya.
“Kalau kau tidak ada kerjaan, lebih baik belikan Mamak Tolak Angin sana, satu kotak saja” Tak ada salam tak ada permisi, tiba-tiba Mamak menyuruhku.
“Memang Mamak suka?” aku Bertanya polos.
“Sama saja dengan rasa jahe”
“Tidak Mak, Kalau jahe tidak pedas, tapi Tolak Angin pedas Mak, ada kandungan cabai nya.”
“Kau ini, mengada-ngada, Itu bukan pedas, itu rasa. Sudahlah, Cepat beli!” Mamak melambaikan tangan tak peduli.
Sebelum Mamak marah, aku sudah sigap berdiri, dan dengan cepat memakai sandal, lalu keluar rumah. Untungnya sandal ku tidak terbalik pasang. Aku sedikit berlari, agar cepat sampai. Aku sampai diwarung, meminta dua Tolak Angin dewasa. Saat total harga yang harus kubayar sudah disebut, aku langsung memasukkan tangan ku ke saku celana ku. Ah! Aku menepuk jidat. Aku lupa meminta uang pada Mamak. Kenapa pula aku tadi langsung berlari keluar? Memalukan sekali ini.
“Eh.. Bi, saya lupa bawa uang, eh.. saya kembali kerumah dulu sebentar ya” Ucap ku pelan
“Haha.. tidak apa-apa nak, kau kembali lah kerumah mu untuk ambil uang, Ibu.. eh, kau panggil nya Bibi ya? Baiklah, Bibi akan simpan kan Tolak Anginnya” ucap wanita paruh baya penjaga warung itu ramah.
“Eh.. te-terima kasih Bi” aku langsung berlari kembali kerumah
Sampai dirumah aku mengomel kepada Mamak, kenapa ia tak berikan aku uang tadi? Tapi Mamak kembali mengomel, berkata bahwa aku yang salah, mengapa tak minta uang dan malah langsung berlari keluar. Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal, salah tingkah. Akhirnya Mamak mengalah, berhenti mengomel, dan memberikan aku uang lima puluh ribu. Aku berlari lagi menuju warung, memberikan uangnya kepada Bibi itu. Kembaliannya dua belas ribu. Transaksi selesai. Tapi aku masih mematung, memperhatikan makanan-makanan manis.
“Kenapa kau diam saja?” Bibi itu tersenyum
“Eh… Bi, aku beli permen ulat ini lima ya, sama kripik pedas nya dua, mmm… sama es nya yang warna merah muda satu” Aku memesan makanan-makanan yang menurut ku paling enak.
“Sebentar ya”
Aku menunggu.
“Ada lagi?” Bibi itu bertanya sembari memasukkan pesanan ku kedalam kresek.
Eh? Harus ada lagi ya? “Sama permen stik warna pelanginya satu”
Bibi itu mengangguk, memasukkan permen stik itu kedalam kresek bersama yang lain.
“Jadi sepuluh ribu lima ratus”
Aku mengangguk, walau kurasa harga nya lebih mahal dari pada di Desa. Setelah itu aku kembali kerumah. Memberikan uang seribu lima ratusnya pada Mamak.
“Mahal sekali Tolak Anginnya ternyata” Sama dengan ku, Mamak merasa demikian juga.
“Iya Mak, itu kembaliannya”
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren qilaah..
WUHU.. makasyiii,, udah sembuh?
maaf ya, aku ga nentu buat nya hari apa, kadang males kadang semangat
Eh, tadi dikasih uang 50.000. Terus transaksi nya 10.500, kok yang dibalikin ke Mamak 1.500?
gpp.. selalu nunggu!
eemmm... raasiaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa! hehe...
anu.. itu tolak angin nya udah dibayar buk
Oke