Mimpi Hari Senin

Menjadi petugas upacara bendera, sepertinya adalah sebuah keinginan yang sederhana. Namun faktanya mewujudkan impianku sejak kecil tidaklah semudah seperti yang dibayangkan kebanyakan orang. Karena nyatanya sekali pun aku belum pernah menjadi petugas upacara.

Saat temanku yang laki-laki dipilih menjadi pemimpin upacara, lalu teman-teman perempuanku ditunjuk menjadi pengibar bendera, teman dekatku dipecaya menjadi pembaca UUD 45, tetanggaku menjadi pembawa naskah Pancasila, aku merasa kesempatan seperti itu secara aneh selalu melewatkan diriku.

Kuperhatikan, anak-anak yang ditunjuk sebagai petugas upacara adalah anak-anak yang pintar dan berani. Sedangkan aku, hanya bisa melihat mereka berkumpul di lapangan dan berlatih. Aku heran, mengapa teman-temanku yang selalu ditunjuk menjadi petugas upacara? Mengapa aku tidak pernah diberi kepercayaan itu? Kalau yang menjadi kriterianya adalah kepintaran aku yakin aku tidak lebih bodoh dari mereka. Kalau yang menjadi ukuran adalah keberanian, tentu saja aku berani. Jika yang menjadi pertimbangan adalah kelantangan suara, akupun tak kalah lantang. Kalau yang menjadi syarat adalah kemampuan baris-berbaris, tentu aku pun bisa baris-berbaris.

Akupun terus bertanya-tanya. Mengapa? Setelah sekian lama memperhatikan dan mengetahui bahwa semua petugas upacara yang pernah kutemui selalu jauh lebih tinggi dariku, akupun menarik kesimpulanku sendiri. Kemungkinan besar alasannya adalah tinggi badanku yang 141 cm ini. Selama ini memang tidak ada aturan bahwa petugas upacara harus memiliki postur tubuh yang tinggi. Namun faktanya semua petugas upacara yang ditunjuk tidak ada yang sependek aku. Bahkan saat menjadi peserta upacara aku tidak diperbolehkan berada di barisan paling depan. Aturan orang pendek berdiri di barisan belakang ini malah membuatku semakin yakin bahwasanya petugas upacara dipilih salah satunya berdasarkan ukuran tinggi pendek seseorang.

Ada apa sih dengan orang pendek? Apa pula kelebihan orang tinggi? Namun daripada pusing memikirkan betapa pendeknya aku dan betapa tingginya teman-teman sebayaku, aku lebih memilih menyalurkan tenagaku untuk kegiatan kegiatan positif lain yang bisa kulakukan. Dengan modal suara lantangku, aku mulai menekuni seni membaca puisi. Aku suka puisi-puisi yang penuh semangat, seperti puisi “Karawang Bekasi” ciptaan Chairil Anwar, puisi “Selamat Pagi Indonesia” karya Sapardi Djoko Damono, puisi yang mengangkat tema sosial seperti “Sajak Orang Lapar” karya Ws. Rendra dan lain-lain. Seiring berjalannya waktu, akupun mulai sering ikut lomba baca puisi. Seperti biasanya lomba,kadang aku menang, tak jarang pula kalah. Namun bukan menang kalah yang utama, melainkan pengalaman dan kepercayaan diri yang terus bertambah.

Sampai detik ini aku masih belum juga mendapat kesempatan menjadi petugas upacara bendera. Namun setidaknya aku akan terus berusaha meningkatkan kemampuan diriku semaksimal yang aku bisa, hingga mungkin suatu saat akan dianggap layak untuk mengemban tugas tersebut. Mungkin terwujudnya impian menjadi petugas upacara bukanlah hal hebat bagi orang lain. Tapi bagiku itu merupakan pembuktian bahwa orang pendek juga layak untuk ditunjuk menjadi petugas upacara bendera.

Biodata Penulis :

Ahmad Erlintang Al-Ayyubi lahir di Ponorogo, 22 September 2009. Saat ini adalah tahun pertamanya di Kelas Unggulan Riset di MTsN 1 Ponorogo. Ahmad Erlintang Al-Ayyubi bisa dihubungi lewat email: [email protected], dan WA: 08823506372